dreizig

113 9 0
                                    

PANCURAN air dari keran shower membuat diri Ethan merasa lebih relaks dan tenang. Lelaki itu mengacak-acak rambutnya di bawah kucuran air dan merenung.

Tapi tak lama kemudian, senyumnya mengembang dan ia lekas mengambil handuk kemudian mengeringkan tubuhnya. Sesaat kemudian, ia telah keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidurnya.

"Loh, kalian masih di sini? Besok gak kerja?" tanya Ethan bingung.

Carly, Raisa, dan Zevano yang sedang berebutan kripik segera menengok, kemudian tersenyum.

"Udah selesai, mandinya? Setengah jam, loh," senyum Raisa sambil meraup keripik.

"Nanti tagihan gue bengkak." ketus Zevano.

"Besok kebetulan tanggal merah. Jadi kita memutuskan buat berantakin apartemen Zevano semalam lagi," jawab Carly.

Ethan mengganguk, mengacak rambutnya dengan handuk kemudian duduk di atas sofa—bergabung dengan para sahabatnya.

"Eh, kalian tau gak?" tanya Ethan sambil mencomot sebuah kripik, "Angela bakal ke sini lusa."

"Sumpah?!" teriak Carly dan Raisa bersamaan, "Yay!" pekik mereka lalu saling berpelukan.

"Gue rindu banget sama persahabatan kita waktu jaman SMA," cerita Ethan sambil mengunyah kripik.

Raisa menatap Ethan cemas, "Emang, di Munich lo gak punya teman?" tanyanya.

"Punya, tapi gak sedekat sama kalian. Louis teman beasiswa sekaligus teman sekamar gue, dan juga Felicia yang ternyata kakak gue," jawab Ethan.

"Apa? Kakak lo?" pekik Carly kaget, "Lo belum cerita sama gue."

"Ada cewe gila yang tiba-tiba dekatin gue dan akhirnya gue suka sama dia. Akhirnya dia selalu merusak hubungan gue sama Angela, tapi dia juga yang memperbaiki hubungan gue dengan Angela. Sebelum gue kembali ke Indonesia, gue baru tau kalau ternyata dia adalah kakak gue—Alesia yang menghilang."

"Gimana persiapan penikahan lo?" tanya Raisa—setelah mengganguk-anggukan kepalanya

"Hari ini, pilih pakaiannya. Besok gue akan pilih cincin, dan beberapa hari lagi gue akan foto pernikahan. Gue benci banget atas pemaksaan ini," cerita Ethan mendengus.

"Sabar," hibur Zevano sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya.

"Gue bahkan gak dibolehkan untuk menjenguk ayah gue."

Ketiga sahabatnya mengganguk lesu, tidak menjawab.

* * *

BUTIRAN salju yang menerjang kota Munich tidak membuat Galdys ataupun Vian merasa malas. Sebaliknya, mereka malah dengan antusias keluar dari hotel mereka dan menyebrangi jalanan.

Mereka sampai di gedung di seberang, penuh antusias menaiki tangga dan berdiri di depan pintu apartemen. Vian tersenyum menatap kakaknya, "Grogi, Kak? Ini akhir dari segalanya."

"Iya, grogi," balas Galdys sambil tersenyum, "Tapi, ayo terima kenyataan." sambungnya sambil mengetuk pintu apartemen itu.

Tok! Tok!

"Ya, gue bisa lihat kalian dari sini. Kunci pintunya otomatis, kalian masuk aja!" teriak sebuah suara dari dalam rumah.

Vian dan Galdys berjalan memasuki apartemen itu, dan duduk berhadapan dengan sang pemilik rumah yang duduk di atas kursi roda.

"Halo," sapa Axel, "Kembali lagi di sini."

"Hai," balas Galdys, "Apapun keputusan lo, gue akan terima."

Nach Sieben JahrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang