siebenzehn

1K 52 4
                                    

"INI lobbynya. Sederhana, sih. Tapi mewah juga kaya lobby hotel," jelas Angela sambil menunjuk sekitar lingkungannya.

Sebuah lobby luas dengan perhiasan dan furnitur indah yang memenuhi ruangan. Keadaannya pun hangat dan juga ramai, karena banyak penghuni yang bertemu dengan tamunya di lobby ini.

Vian dan Galdys mendongakkan kepalanya sambil menatap sekeliling, sampai langkahnya oleng. Mereka tidak pernah pergi ke sebuah apartemen di Munich, jadi tak mereka sangka apartemen di Munich bisa jadi semewah ini.

Sementara Angela dan Ethan berjalan di depan mereka, mengobrol ria dengan asyik, layaknya pasangan di masa lampau dulu.

Dengan santai, Angela dengan Ethan terus mengobrol santai sementara Vian dengan Galdys yang terus terkagum. Tanpa mereka sadari, mereka telah sampai ke depan pintu apartemen keluarga Kaistal.

Ting! Tong!

Bunyi bel yang baru saja Angela pencet membuat jantung Galdys berdetak cepat; antara canggung, gugup, bahagia, tidak sabar, atau seribu satu perasaan wanita lainnya.

"Santai aja. Kakak masih sama kok, gak ada yang berubah," bisik Angela di telinga Galdys, sebelum mereka memasuki rumah tersebut.

Hai.

"Axelnya masih mandi, tunggu sampe dia selesai ya," senyum Mama Angela setelah menyuguhkan minum.

Debaran jantung Galdys semakin tidak terkontrol hingga akhirnya—

"Lo kenapa bisa ada di sini?"

Pertanyaan dengan nada datar itu membuat hati Galdys terkikis. Secara gadis itu telah setia dan menunggunya selama tujuh tahun; bahkan ia rela jauh-jauh dari tanah Nusantara menghampiri Axel, tidak bisakah ia mengutarakan kalau ia rindu padanya, karena sudah terlalu lama tidak bertemu? Atau, mengucap puji pada perbedaan Galdys?

Mungkin, hal itu sudah terlalu jauh untuk Galdys harapkan. Mereka sudah berpisah terlalu lama dan mungkin; Axel sudah tidak memiliki perasaan pada Galdys, atau yang lebih parah; melupakan Galdys.

Tapi tak bisakah, ia mengucap sepatah kata, 'Halo?'

Galdys menelan ludahnya, menatap lelaki di depannya yang duduk di atas kursi roda. Kakinya tergeletak lemah, tanpa bisa digerakkan.

"K-kaki lo, kenapa?" tanya Galdys kaku.

"Lumpuh karena gue kecelakaan," jawab Axel datar.

"A-apa kabar?" tanya Galdys kaku.

"Baik-baik aja selama tujuh tahun ini. Ada perlu apa lo ke sini?"

"Gue—" ucapan Galdys terhenti seketika ketika wajah perempuan itu semakin muram.

"Selama tujuh tahun ini kakak gue masih sayang sama lo. Dia buru-buru ke sini setelah tau kabar lo ada di sini," jelas Vian cepat, "Kak Galdys di sini mengucap perpisahan, jika kalian mau."

"Jika kalian mau? Tentu gue mau," senyum Axel kelam, "Gue gak bisa nerima lo lagi di hati gue, setelah hal jahat yang telah adik lo perbuat kepada adik gue, Galdys."

Jantung Vian langsung terhenti seketika, dan dengan wajah memelas ia menatap wajah kakaknya yang tampak gemetar merasa sedih.

"Vi-vian? Emang apa yang pernah ia lakuin ke Angela?" tanya Galdys kaku, "Kecuali waktu penembakan itu—gue masih ingat jelas. Apa gara-gara itu?" tanyanya.

Nach Sieben JahrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang