neun­und­dreißig

91 8 0
                                    

DUA hari setelah kepulangan mereka dari Bali.

Dengan mengenakan pakaian formal berwarna hitam, Ethan mendatangi kediaman mewah Reza dengan mobil sport-nya.

Di tangan kanannya terdapat sebuket bunga mawar merah, persis seperti permintaan Reta yang minta dibawakan bunga yang katanya harus Ethan berikan pada putrinya.

Dengan perlahan, Ethan membuka pintu besar itu dan Reza, sudah menunggu dirinya di ruang kerja.

"Selamat siang," ucap Ethan sopan sambil memasuki ruangan kerja Reza.

Lelaki paruh baya itu tertawa, sambil menaruh kakinya di atas meja kerja, "Tak perlu formal-formal kepada ayah mertuamu, anak muda." tawanya ringan.

Ethan hanya diam tanpa memedulikan ucapan Reza berikutnya.

"Duduk," pinta Reza, "Alasanku memanggilmu ke sini hanya satu. Kau sudah tahu waktu dan tempat pernikahanmu, dan rentetan acaranya, kamu sudah mengerti jelas hal tersebut, bukan?"

Ethan mengangguk yakin.

"Kalau begitu," Reza tersenyum licik sambil memberi sebuah tas kepada Ethan, "Ini undangan pernikahanmu. Bagikan sendiri pada teman-temanmu. Kau bisa, kan?"

Ethan membuka tas itu pelan, menelan ludah. Reza benar, Ethan pasti bisa melakukannya. Ini tidak akan menjadi sesuatu yang susah.

* * *

TAPI nyatanya, hal itu terasa sangat susah.

Ia telah sampai di gedung Zevano, menaiki lift menuju kantor sahabatnya. Hembusan napasnya terasa berat.

Mungkin mudah baginya untuk memberi tahu Zevano, tapi ia takut Raisa akan segera panik dan menelpon Angela.

Sebelum ke gedung milik Zevano, Ethan sudah mendatangi kantor Carly dan hal itu berjalan dengan lancar.

Ia menyerahkan undangannya, dan meminta pada Carly agar tidak memberitahu siapa-siapa pada sementara waktu.

Carly mengangguk patuh dan kembali bekerja karena pekerjaannya memang banyak hari itu. Itulah sebabnya gadis itu berlagak normal.

Tadi berjalan lancar, nanti pasti juga berjalan lancar, batin Ethan menyemangati dirinya sendiri.

Tok! Tok!

"Masuk!"

Ethan terdiam di ujung kantor Zevano, menatap sahabatnya yang sibuk di balik meja kerja.

"Oh, bro. Duduk dulu aja," ucapnya sambil menunjuk sofa di samping ruangan, "Ambil aja minumnya di atas meja itu. Tunggu sebentar ya, gue masih ada kerjaan."

Ethan mengigit bagian dalam bibirnya, mematuhi perintah Zevano.

Lima belas menit kemudian, suasana kantor itu lenggang, hingga Zevano akhirnya duduk di hadapan Ethan.

"Ngirim undangan, kan?" terka Zevano.

Ethan menghembuskan napas sedih, mengangguk.

"Sebentar, biar gue panggil Raisa," ucap Zevano sambil menyentuh ponselnya.

Lima menit kemudian, mereka sudah berkumpul di kantor itu dengan wajah-wajah serius.

Nach Sieben JahrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang