CHAPTER 5

2K 296 56
                                    

Chapter 5. Luka

Angin dingin menjalar pelan menyapu kulit wajahku. Ketika yang dapat kulihat hanyalah hamparan putih salju yang sukses membekukan seluruh alam. Bahkan rawa-rawa tempatku melarikan diri telah menjadi padang es. Kusapu pandang ke segala arah, kemudian menghirup udara dingin ini. Merapatkan mantelku agar memelukku lebih erat.

Rerumputan lelap tertidur dalam buaian musim dingin. Begitupun air yang ditutupi lapisan tipis yang membeku. Kututup mataku sejenak. Berusaha mengingat lebih banyak peristiwa menyenangkan baru-baru ini. Aku berdansa dengannya. Aku ditariknya masuk ke dalam tarian bersambung. Menguarkan gelak tawa dan kebahagiaan yang mampu mencairkan es padang ini. Tersenyum sejenak mengingat senyumannya.

Kubuka kembali kelopak mataku. Menatap padang es kosong ini. Menatap kumpulan semak belukar yang hibernasi seperti beruang kutub. Aku menarik napas sejenak. Merasakan seseorang sepertinya mengikuti langkahku kemari. Aku menoleh perlahan.

Benar saja. Dari jejak langkahku di atas salju, ia dapat dengan mudah menemukanku. Hanya perlu mengikuti jejak tersebut sampai ke tepi rawa ini. Seorang pemuda pirang lengkap dengan mantel dan topi bulunya. Ia berjalan makin mendekat sebelum akhirnya terhenti di sebelahku. Hembusan napasnya menguarkan embun. Dan kulit pucatnya senada dengan salju.

"Menemukan sesuatu?" tanyaku pelan, kembali berbalik menghadap padang salju.

"Sepertinya iya," jawabnya singkat.

Hening setelahnya. Hanya terdengar hembusan angin bermain di antara pepohonan yang tertidur pulas. Kemudian ia batuk-batuk kecil.

"Kau ingat saat pertama kali aku menemuimu di rumah sakit?" tanyanya. Aku menoleh lagi padanya dan kini menyipitkan mata, seolah meminta padanya untuk tidak melakukan hal yang salah.

Pemuda itu merogoh saku celananya. Persis seperti malam itu. Malam dimana ia datang dan melihat keadaan burukku untuk pertama kali. Membuat tubuhku berguncang dan berada dalam keadaan waspada. Aku masih trauma, sungguh.

Ia hampir mengeluarkan sesuatu yang entah apa, namun aku cepat-cepat menghindar dengan pergi. Namun tangannya mencegahku sehingga aku tak bisa bergerak.

"Tenang, Granger!" ucapnya cepat. Napasku mulai tak beraturan. Aku mencengkram kuat lengannya yang menghalangiku untuk kabur. Begitu ia benar-benar merogoh dan mengeluarkan benda sialan tersebut. Warnanya seperti darah segar dengan gambar latar padang salju.

Kututup mataku rapat-rapat tak mau memasukkan pemandangan mengerikan tersebut. Namun pemuda itu malah menarikku untuk duduk di atas tumpukkan salju dingin. Aku masih belum membuka mataku saat ia memaksa telapak tanganku untuk terbuka, dan setelahnya.

"Pegang ini." Menaruh benda brengsek itu tepat di genggamanku.

Apa yang kau pikirkan, Malfoy? Tak bisa kau lihat aku setengah mati gemetaran karena ketakutan. Apa ini masih lucu hah?

Tubuhku bergetar hebat. Namun ia mempererat pegangan tangannya di benda ini dan tanganku. Tak mempebolehkanku melemparnya jauh-jauh.

"Jangan dilempar, Granger! Aku hanya bawa satu," ucapnya tanpa dosa. Aku mengerang padanya walau masih menutup mata.

"Malfoy cepat singkirkan!" suruhku cepat. Tapi sepertinya ia tuli.

"Ini hanya apel!" ucapnya memperjelas benda di genggamanku. "Hanya apel yang sama sekali tak akan mengancam nyawamu," lanjutnya.

Aku mengerang agak keras. Mengingat bagaimana kedua orang tuaku tewas karena benda terkutuk ini. Katakan lagi Malfoy! Bahwa benda itu tak akan merenggut nyawaku.

APPLES (DRAMIONE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang