CHAPTER 8

2.1K 273 43
                                    

Chapter 8. Apel

Gemericik hujan membuatku menggigil hebat. Namun kupaksakan tubuhku untuk tetap melawan dingin membunuh ini. Tetap berjalan walau hanya terlindungi mantel bulu dan payung hitam yang menghalau sebagian kebekuan. Aku berjalan menembus jalanan tenang dengan derasnya hujan. Sejauh yang bisa aku ingat, aku hanya ingin pergi ke tempat itu. Ke tujuanku saat ini. Sebuah rumah besar dengan halaman terbentang luas di depannya.

Tak sulit bagiku membuka pintu gerbang dengan sekali ayunan tongkat kayu anggur yang aku rindukan. Menerobos masuk diantara bala tentara hujan hingga kini sampai pada beranda marmer seperti lantai rumah sakit. Aku segera melangkah melewatinya, menuju sebuah pintu kayu besar nan kokoh. Meraih pengetuknya yang terbuat dari besi super dingin. Mengguncangnya dengan sisa tenaga hingga beradu dengan besi lain. Menimbulkan suara gaduh yang keras. Setelahnya diam. Namun tak ada suara. Aku ulangi mengetuknya. Dan kini, suara langkah kaki terdengar dari balik pintu.

Dan setelahnya, daun pintu mengayun terbuka. Memperlihatkan seorang pemuda dengan iris kelabu yang melebar sempurna. Wajah terkejutnya belum selesai mengamatiku hingga tubuhku ambruk memeluknya. Aku menangis kuat di bahunya.

Pemuda itu membawaku masuk ke manornya setelah menutup pintu. Ia membawaku ke kamarnya setelah berjalan cukup jauh melalui tangga spiral besar dan lorong-lorong. Draco memintaku duduk di atas ranjang sementara ia pergi entah kemana. Dan kemudian tak lama kembali dengan selembar handuk yang cepat ia gosokkan ke tubuhku yang basah kuyup.

Aku tertegun sejenak seraya meneguk teh panas yang pemuda itu berikan tadi. Sementara dirinya hanya berdiri mematung melempar pandang ke arah luar jendela. Mengamati deras hujan dengan gemericik suaranya yang memilukan. Memperhatikan apapun selain kerinduan yang menguar di udara.

Ketika kuputuskan dengan setengah kewarasan dalam kepalaku. Kuikuti hati untuk menghadapi rasa penyesalan yang menghantui malam-malam burukku. Memunguti pecahan hati yang semakin menjauhkan diriku dengannya. Dalam minggu-minggu kelabu menuju pernikahan. Dirinya dengan calonnya. Diriku dengan calonku. Kuputuskan untuk ke tempat ini dengan sisa tenaga. Mengumpulkan serpihan harapan hanya untuk meyakinkan diriku bahwa tak ada cinta bersarang di hatinya atas namaku.

Setelah menit-menit berlalu yang terasa mencekik, dentingan jam menemani kebisuan kami. Saat hujan hanya tinggal rintik kecil. Saat ia berbalik menatapku. Belum beranjak dari tempatnya kini.

"Kau tak seharusnya disini," ucapnya pelan. Namun aku bergeming, hanya memandangnya. "Aku akan menikah lusa," lanjutnya dengan nada kepasrahan.

"Aku akan menikah besok malam," balasku tenang. Kutaruh cangkir teh yang tinggal berisi separuh di atas meja.

"Apa yang kau inginkan?" tanyanya memburu.

"Seperti yang selalu ditanyakan banyak orang. Aku menginginkanmu."

Ia menarik napas dalam kemudian berjalan mendekatiku. Menarikku ke dalam pelukannya. Menarikku dalam memori menyesakkan dada yang kini harus kembali terbawa ke permukaan karenanya. Karena pelukannya.

"Aku akan menagih ciuman yang belum sempat kau akhiri."

Kubiarkan tanganku terulur di samping tubuhku. Tak membalas pelukan eratnya. Kubiarkan kebekuan tubuhnya menyatu dengan tubuhku. Karena kusadar aku bukanlah sang pengantin yang akan ia sambut dalam sucinya cinta. Aku bukan lagi hantumu, Draco. Aku telah kehilangan cinta terbesar bahkan sebelum aku menyadarinya. Kubiarkan diriku jatuh untuk mengenang.

Kobaran api di perapian meletupkan bunga-bunga api kecil, namun hanya bisa kuperhatikan. Menimbulkan siluet-siluet membayang tentang bagaimana akhirnya pemuda itu mengecupku. Dan aku larut ke dalam pelukannya lebih dalam. Meletupkan bunga api kecil dalam diriku yang kini semakin membesar.

APPLES (DRAMIONE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang