CHAPTER 4

2K 308 80
                                    

Chapter 4. Salju

"Apa kau tak tahu aku benci buah itu?" desisku marah pada Ron yang tiba-tiba membawa semangkuk penuh apel berwarna merah segar. Hampir saja aku menggebrak meja jika aku masih mengingat untuk menjaga sikap. Aku bangkit berdiri dan segera pergi menuju kamar. Membanting pintu dan segera duduk di sebuah kursi yang menghadap jendela.

Sama seperti malam-malam sebelumnya di rumah ini. Rumah keluarga Weasley. Hanya bisa diam berkutat dengan pikiran sendiri. Aku benci melihat tatapan waspada itu. Jika memang mereka masih mengira aku gila, mereka harusnya melemparku segera ke rumah sakit kembali. Ah, mungkin itu akan jauh lebih baik.

Aku duduk seraya memeluk lutut pada kursi ini. Menghadap jendela berembun dengan tumpukkan salju pada setiap sudutnya. Memandang ke arah luar. Malam hening dengan kerlipan lampu redup. Aku melirik sejenak butiran morfin di atas meja, namun kuurungkan niat untuk menenggaknya.

Waktu berlalu dan aku terpaksa melewati hari-hari menyedihkan ini seorang diri. Mereka tak tahu apa yang aku lakukan di kamar ini. Meringkuk, mengerang berusaha tak menjerit keras ketika mimpi buruk menghajar ingatanku lagi. Berkutat dengan banyak morfin yang membuatku menjadi pecandu. Menjadi seorang pesakitan.

Dan ingatanku selalu beralih padanya. Entah sedang apa pemuda itu. Pemuda yang dulu memelukku saat aku diculik kengerian. Banyak hari kulalui, memaksaku untuk sadar bahwa mungkin tak ada lagi kesempatan untukku benar-benar waras.

Aku mengeluh pelan. Memunculkan butiran embun beku dari hembusan udara. Meresapi keheningan malam. Mencoba menenangkan diri sendiri. Dan setelahnya kembali dibuai mimpi. Selalu berganti. Hingga pagi menjemputku dengan cahaya menyilaukan. Menyentuh pupilku yang terkadang aku bersyukur karena telah membangunkanku dari kejamnya malam.

Seperti kegiatan pagi hari biasanya. Setelah selesai mandi aku turun bergabung untuk sarapan. Aku melihat Harry ada di sebelah Ginny. Ah ya, mereka belum menikah. Pernikahan mereka diundur karena Ginny harus mengikuti pertandingan Quidditch di Norwegia beberapa minggu yang lalu.

"Kemari, Mione!" ajak Ron melambaikan tangan ke arahku. Mengisyaratkan kursi kosong ke sebelahnya. Karena memang hanya itu yang bersisa.

Setelah melempar senyum yang dipaksakan, aku bergabung bersama keluarga ini. Melirik sekilas pada mangkuk buah. Tak ada buah sialan itu. Aku pun melahap sup daging dan roti yang masih hangat. Tak melirik ke sekitar. Tak mempedulikan obrolan-obrolan sekitar, bahkan ketika namaku ikut disebut. Namun, agak tersentak dengan obrolan berikutnya. Yang membuatku ingin memuntahkan semua sarapan pagi ini.

"Kita bisa membicarakan tentang pernikahan Ron dan Hermione mulai sekarang, atau menyertakannya dengan pernikahan Ginny sepertinya ide bagus," ucap Molly girang.

Ron tersedak sesaat setelahnya melirik sekilas ke arahku, yang aku rasa mereka dapat mengartikan ekspresi wajahku ini.

"Mereka masih harus banyak bicara," ucap Arthur menepuk-nepuk punggung Ron.

Seakan teringat sesuatu. Aku menerawang padanya. Pada pemuda pirang platina yang entah sedang apa saat ini.

"Hermione masih butuh banyak waktu untuk beristirahat," ucap Ginny tersenyum ke arahku. Aku agak lega mendengarnya.

Mereka pun mengganti topik pembicaraan kepada hal lainnya. Hingga selesailah acara sarapan bersama ini. Dan seperti biasa, aku segera pergi menjauh dari kerumunan.

Berjalan seorang diri menjauhi rumah menuju rawa-rawa yang bisa menenggelamkanku. Menatap kosong pada perdu maupun semak yang kini ditutupi tumpukkan salju. Ingin berlari dan berteriak sekencangnya, namun selalu kuurungkan niat. Dan kini hanya bisa menyentuh permukaan air yang hampir membeku. Menciptakan riak gelombang kecil. Membuyarkan pantulan sempurna wajahku di permukaannya. Sesekali aku melempar kerikil sekencang-kencangnya sebagai ganti luapan kemarahan. Lapisan tipis air yang beku pun retak dibuatnya.

APPLES (DRAMIONE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang