Chapter 3.
Suara alunan angin terdengar samar bertiup. Aku menoleh sekilas ke arah pepohonan kering di sudut taman, dan hamparan rumput yang mulai kering. Entah sudah yang ke berapa kali ia mengeratkan syal yang melingkari leherku. Memastikan bahwa aku tetap hangat. Aku hanya terdiam. Masih tak bicara terlalu banyak kepada siapa pun. Tapi, ia memang orang yang mendengar beberapa kalimatku akhir-akhir ini. Mendengar semua umpatan, teriakan, dan makian.
Sebulan berlalu semenjak kejadian gedor-gedor pintu kamar mandi, sembunyi dan mencari, dililit tumpukkan kain, pertunjukkan apel mengerikan. Dan seolah ia membiarkanku melakukannya lagi. Membenamkan diri dalam bathtub, sembunyi dalam tempat-tempat yang sudah pasti ia akan bisa menemukanku. tanpa ada gangguan. Kemudian keluar dan mencemoohnya lagi.
Terus mencemoohnya hingga mulutku terasa malas melakukannya. Mungkin bosan. Karena nyatanya aku tak dapat tanggapan. Karena nyatanya si asisten dokter ini masih setia mengusap keras punggungku saat kumat. Setia menungguku makan yang rasanya seperti setahunan. Setia mengawasiku minum obat.
Dan yang perlahan aku suka, setia mendengarkanku. Disaat semua orang pergi. Perlahan aku mulai menerima kebaikannya untuk terus berada di sebelahku.
Saat ini phobiaku tak terlalu besar dengan benda terkutuk itu. Setelah ia menstimulusku bahwa apel hanya sebuah benda. Tak berbahaya. Walaupun rasa takutku kerap menyerang seolah mengintimidasi bahwa merah mengkilap itu adalah darah segar yang telah ditumpahkan dari tubuh-tubuh tak berdosa.
Dan kini pemuda itu berjongkok di depanku. Dengan kelabu tajam miliknya seolah mengorek sesuatu ke dalam sepasang hazel milikku. Ia belum mendapatkan apa yang ia cari. Tentang menteri sihir. Tentang bagaimana orang tuaku mati.
Namun beberapa kali aku berpikir mungkin Draco –aku mulai berpikir menyebut nama depannya- tak terlalu menginginkan informasi itu. Mungkin itu bukan motif utamanya. Aku bahkan sempat berpikir ia disuruh Harry atas balas jasa untuk Narcissa. Tapi, semua hipotesis itu tak berguna. Toh aku pun malas bertanya.
"Kau rindu ini?" tanyanya datar seraya menarik tongkat dari saku jaketnya. Mataku menyipit memperhatikan.
"Sejujurnya iya. Tapi mereka tak mengizinkan aku memiliki punyaku," ucapku pelan.
"Kau mau mencoba?" tanya pemuda itu yang dengan enteng meletakkan tongkatnya di panngkuanku. Aku menatapnya heran.
"Aku masih hapal benar kutukan kematian," desisku agak jengkel.
"Memangnya siapa yang bilang kau lupa, eh? Otakmu yang super besar itu aku rasa tidak akan menyusut hanya karena gelang menyedihkan itu!" tunjuk pemuda itu pada gelangku. Aku tertawa pelan.
"Kau mau aku merapal apa?" tanyaku dengan sigap memegang tongkat sihir miliknya.
"Coba non verbal. Aku ingin kopi panas," perintahnya.
"Kau tinggal cari di dapur, Malfoy!" ucapku terkekeh kecil. Namun akhirnya, setelah tiga bulan lebih diam di rumah sakit ini, aku melakukannya. Mengayunkan tongkat itu perlahan. Dari bulir-bulir embun yang mulai berjatuhan di senja ini, aku menyihir secangkir kopi dari udara kosong.
Pemuda itu hanya tersenyum tipis, namun lain halnya dengan aku yang seakan-akan murid tahun pertama yang baru bisa menggunakan tongkat. Ia meraih cangkir di pangkuanku dan meneguknya hingga habis. Kemudian menaruh cangkir kosong di pinggir lorong.
"Mereka akan mengurus yang itu," liriknya sekilas. "Kita kembali ke kamarmu. Udara sudah mulai tak bersahabat. Lagipula kau perlu mengganti perbanmu," lanjut pemuda itu seraya mendorong kursi rodaku. Sekilas kulihat raut wajahnya yang seiya sekata dengan udara penghujung musim gugur.
KAMU SEDANG MEMBACA
APPLES (DRAMIONE)
Hayran Kurgu(COMPLETE). DRAMIONE by Diloxy: Gelang bertuliskan 'gangguan mental' melingkar di pergelangan tangannya. Tatapan kosong. Hidup di ambang kematian. Dengan luka-luka berat bekas peperangan. Dengan luka lama akibat benda bulat berwarna merah mengkilap...