Perjalanan pulang

393 91 17
                                    

Di minggu ketiga gua berpacaran dengan Nia. Gua masih belum berani menjemput dan mengantar gadis ini pulang. Bukan berarti gua takut ketemu mama, papa, serta abang-abangnya Nia. Hanya saja gua masih ragu untuk mengajak Nia pulang atau berangkat bersama.

Tapi gua rasa, di minggu ketiga ini suasana canggung karena fase baru jadian sudah hilang. Gua sudah mulai nyaman dengan status baru gua sebagai pacar Nia. Gua pun akhirnya memberanikan diri mengirim pesan kepada Nia.

Nia, besok mau pulang bareng? —tulis gua.

Boleh?

Gua mengernyitkan dahi membaca pesan balasan dari Nia. Pertanyaan seperti ini apa perlu gua jawab, jawabannya kan sudah jelas—

YA BOLEH LAHHH

Aku tanya bunda dulu. —balasnya lima menit kemudian.

Satu menit

Dua menit

Tiga menit

Gua berguling-guling di atas kasur menunggu balasan dari Nia yang tidak kunjung datang. Sebenarnya apa yang Nia tanyakan kepada bundanya? Kenapa lama sekali?

Setelah sekiranya lima belas menit setelahnya. Layar ponsel gua menyala menunjukkan balasan yang Nia kirimkan.

Okay, tapi jgn mampir dulu.

Gua mengernyit heran. Jadi, gua gak boleh mampir ke rumah dia? Bukan masalah besar sih, toh niat gua cuma ingin mengantar Nia. Bukan keliling rumah Nia.

Mampir ke tempat lain maksudnya.

Jadi mau?

Mau.

Dan setelah membaca balasan dari Nia, gua kena omel mama karena teriak-teriak kegirangan di malam hari.

"

Bel pulang sekolah berbunyi, gua langsung bergegas memasukkan pulpen yang gua ambil dari kotak pensil Luna dan buku tulis yang sudah menipis karena kebanyakan gua robek untuk main lempar-lemparan bola kertas.

Gua berjalan santai menuju kelas Nia, sesekali memeriksa pantulan diri gua lewat kaca jendela. Tangan gua merogoh saku celana untuk memeriksa keberadaan kunci motor kesayangan, yang gua dapat saat menang cup futsal beberapa bulan yang lalu.

Sesampainya di ambang pintu, gua bisa melihat Nia sedang bercanda dengan Harshal di sana. Dengan cepat gua menghampiri meja Nia.

"Yuk pulang." Ajak gua langsung.

"Eh Ril, gak nongkrong dulu?" Tanya Harshal basa-basi.

"Nanti gua nyusul, kalo gak males." Balas gua sekenanya. Gua dan Nia pun berjalan menuju parkiran motor sekolah.

Biasanya, jam segini gua masih duduk di koridor, menemani Nia hingga ia dijemput. Tapi mulai hari ini, dan semoga kedepannya gua akan langsung pulang dengan Nia yang duduk di jok belakang motor gua.

"Safety is priority." Nia terkekeh mendengar ucapan gua, dia menerima helm yang gua sodorkan dan memakainya.

"Siap? Pegangan ya."

Gua sedikit menyesal karena sudah menyuruh Nia untuk pegangan, karena kini gua takut bukannya fokus ke jalanan, gua justru akan terfokus sama detak jantung gua yang udah gak karuan ini.

Gua yakin Nia sedang menyandarkan kepalanya di punggung gua, karena kini jantung gua berdetak lebih cepat lagi, seolah-olah ada drummer yang sedang mengambil alih jantung gua.

Tolong, Haril ingin meledak.

Petunia.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang