Tentang Cheerleader

341 73 15
                                    

Rasanya ada yang salah sama diri gua. Dari kemarin setiap liat motor hitam yang terparkir di garasi, gua reflek senyum. Memori mengantar Nia pulang seakan terputar kembali, dan sukses membuat gua tersenyum lebar.

Kesenangan gua masih berlanjut begitu gua sadar kalau hari ini ada peluang untuk mengantar Nia pulang. Karena dia ada cheers, dan gua ada futsal.


Tapi kesenangan gua terhenti begitu memulai pelajaran pertama di sekolah. Gua terpaksa berjalan jongkok dari koridor kelas IPA hingga ke koridor kelas IPS lalu kembali lagi, karena lupa mengerjakan makalah sejarah.

Hukuman tidak sampai disitu saja, gua dan segelintir anak yang juga tidak mengerjakan tugas dipaksa menulis surat perjanjian agar tidak melakukan kesalahan yang sama lain kali.

"Kalo Bu Anis gak hamil udah gue sumpahin dia." Umpat Erick yang juga harus mendapat hukuman seperti gua. Gua terkekeh mendengar kata-katanya.

"Ril, itu bukannya cewek lo?" Tanya Luna, gua heran kenapa cewe yang biasanya rajin ini bisa lupa mengerjakan tugas Bu Anis.


Pandangan gua tertuju ke jendela ruang BK yang langsung berhadapan dengan lapangan. Benar saja, di sana ada kumpulan anak cheers kelas 11. Dan tentu saja ada anak kelas 12 yang sudah berkacak pinggang di depan mereka.

Tentu saja gua gak bisa dengar apa yang mereka bicarakan di sana.


"Buset, ngapain anak cheers jam segini udah latihan?" Tanya Erick heran, laki-laki itu menatap Luna seakan meminta jawaban.

"Kemaren Nia bilang sih, kalo anak cheers bakal ikut tampil pas DBL nanti." Jawab gua.

"Iya, tumben Pak Bubu ngasih izin ke mereka." Balas Luna. Pak Bubu di sini itu panggilan untuk kepala sekolah kami, Pak Budi.

"Tapi panas banget gak sih? Masih jam 9 lho." Tanya Erick lagi. Anak-anak lain sudah selesai menulis surat perjanjian, sementara kami bertiga bahkan baru menyelesaikan satu paragraf karena terlalu sibuk membicarakan anak-anak cheers.

"Masih matahari sehat, lo aja yang males." Cibir Luna, gua yang duduk diantara mereka hanya terkekeh. Pandangan gua masih mengarah ke lapangan, memperhatikan Nia yang sedang berlatih.

"Ril udah Ril, gak kelar-kelar ini kerjaan kalo lo cuma liatin cewe lo." Erick menyadarkan lamunan gua, kami pun kembali terfokus dengan kertas masing-masing.


Ketika Bu Anis masuk ke ruang BK kami langsung menyerahkan surat perjanjian tersebut. Sepanjang perjalanan kembali ke kelas gua mencuri-curi kesempatan untuk memperhatikan Nia yang berada di lapangan.

Fokus gua terbagi antara mencari Nia di antara kumpulan anak-anak cheers atau mendengarkan keluhan Erick tentang bagaimana lengannya menjadi pegal setelah menulis surat perjanjian.

"Ah pegel banget gila, kalo kayak gini gue jadi— eh kenapa itu?"

Baru sesaat gerakan Elevator berhasil mereka lakukan, namun tiba-tiba si flyer terjatuh dan menyebabkan formasi cheers rubuh. Gua panik, gua baru sadar posisi Nia di cheers itu adalah base, berarti ada kemungkinan besar Nia adalah salah satu murid yang tertimpa flyer barusan.

Baru saja gua hendak beranjak ke lapangan, Luna lebih dulu menahan tangan gua.


"Lo kalo kesana malah bikin Nia kena masalah." Ujar Luna.

"Kok gitu? Gua cuma mau nge-cek Nia baik-baik aja atau enggak." Balas gua, ah ya gua gak suka ketika dilarang-dilarang seperti ini.

"Senior cheers itu beda sama senior futsal lo. Mereka suka kalo ada masalah-masalah kecil kayak gini, buat bahan ngehukum juniornya."

"Gila? Gak make sense sumpah." Gua mendengus mendengar penjelasan singkat dari Luna.

"Samperin pas lagi break latihan aja. Jangan sekarang, serem juga kalo mereka beneran dihukum gara-gara lo kesana."

Gua mencibir begitu mendengar saran dari Erick. Apa bedanya sih ada senior sama enggak ada? Yang gua mau liat itu Nia, persetan dengan yang lain.

***


**Posisi elevator

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**Posisi elevator

Petunia.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang