Diary Diana

222 23 4
                                    

Perang suci di tanah abu.

Perang besar antar manusia dan iblis.

Saat awan gelap menyelimuti langit malam, hujan darah mewarnai tanah merah yang memantulkan cahaya rembulan. Kami adalah kesatria putih. Kesatria yang dipercaya untuk membawa kedamaian. Dengan berkat dari para malaikat, kami diutus untuk menghancurkan para iblis yang jahat.

Perang suci di tanah abu.

Dengan dagu yang mengangkat, dada yang membusung tinggi, di bawah sinar rembulan kami menjeritkan balada kemenangan. Mengangkat senjata kami, menonjolkan ujung pedang dan tombak.

Para iblis yang menentang dibakar. Hingga tanah hitam itu berubah menjadi lautan api. Api keadilan terus menari dengan eloknya. Bersama tarian itu kami berpesta, tertawa, tersenyum bangga. Mengolok para iblis yang menjadi tawanan kami.

Perang suci di tanah abu.

Api itu sudah padam. Hanya tersisa abu. Abu sisa tubuh para iblis. Tapi kami belum puas. Kami tidak akan puas sampai seluruh iblis musnah dari muka bumi ini.

Inilah para kesatria putih kebanggaanku. Berkat pengorbanan dan tumpah darah merekalah aku dapat menikmati kehidupan yang mewah sebagai jenderal terhormat, bersama anak perempuanku, Diana.

Namun mendengar kisah ini, gadis yang harus menyandarkan kakinya di atas kursi roda itu sedih, seolah kisah heroik ini memiliki akhir tragis.

"Ada apa, Diana? Apa yang membuatmu bersedih?"

"Ayah …." Diana menatapku dalam-dalam. "Kenapa kita harus terus membunuh para iblis? Bukankah perang sudah berakhir?"

"Iblis adalah makhluk yang jahat. Mereka harus dibasmi."

"Bagaimana dengan manusia? Manusia juga membunuh dan menyiksa makhluk lain. Bukankah manusia sendiri sama jahatnya dengan iblis?"

"Kami adalah penegak keadilan. Jangan samakan kami dengan para iblis keparat itu."

"Apakah ini semua tentang keadilan?" Diana memalingkan wajahnya. "Apakah siksaan yang diterima iblis itu belum cukup untuk memuaskan keadilan ini?"

Tanpa menghiraukanku, Diana bergerak pergi kembali ke kamarnya. Memutar kaki kursi roda dengan kedua tangannya yang lemah.

Apa yang dia pikirkan?

Gadis itu masih belum mengerti kerasnya dunia. Diana terlahir dengan tubuh yang lemah. Dan kondisi semakin buruk dari waktu ke waktu. Karenanya dia lebih sering tinggal di dalam rumah.

Namun sejak awal Diana selalu menyembunyikan sesuatu. Setiap hari, dia terlihat seolah merindukan dunia luar. Merindukan seseorang yang tak pernah kukenal.

Apa yang dia sembunyikan dariku, ayahnya sendiri?

Keesokan harinya aku terus menatap Diana. Mengamati tingkah lakunya di pagi hari. Dengan kaki yang lumpuh, tidak banyak yang bisa dia lakukan. Namun dia masih menyempatkan diri untuk membuat biskuit-biskuit kecil di dapur.

Aroma biskuit itu sangat lembut. Sama seperti senyum Diana saat mengolah adonan itu dengan tangannya. Memotongnya menjadi bentuk-bentuk yang manis dan memanggangnya.

Senyuman di wajahnya saat dia selesai memanggang biskuit itu bagai bunga lili putih yang bermekaran. Senyum itu sama seperti senyum ibunya saat menyambut sang suami yang pulang dari medan perang. Sebuah perasaan rindu yang mendalam.

Diana …

Untuk siapakah biskuit itu kau buat?

Untuk siapakah senyum itu kau tujukan?

Aku adalah ayahmu. Aku harus mengetahuinya.

Tanpa sepengetahuan Diana, aku menggeledah kamarnya. Apa yang kulakukan ini mungkin bukanlah tindakan yang terhormat, tapi sebagai ayah aku akan melakukan apa pun untuk anakku.

Di balik lemari pakaian yang besar, aku menemukan sebuah buku tebal. Buku diary, catatan perjalanan hidup Diana. Setiap lembar kertas di buku itu tampak kusam. Seolah buku itu cukup sering dibuka.

Aku pun mulai membacanya. Membaca lembar-lembar kenangan yang ingin disimpan oleh putriku. Membaca suara hatinya. Sebuah jeritan yang tak pernah kusadari hingga hari ini. Jeritan hati yang tidak pernah disadari oleh ayahnya sendiri.

Kehidupan Diana diwarnai dengan kesedihan. Tubuhnya yang lemah membuatnya sulit berteman. Sepanjang hari dia tinggal di rumah yang megah bersamaku dan para pelayan. Namun dia merasa kesepian. Sangat kesepian.

Aku terus membalik lembar buku itu. Aku marah, mengutuki diriku sendiri. Seseorang yang disegani. Seseorang yang membawa kemenangan bagi umat manusia. Seseorang yang punya kuasa. Tapi aku tidak bisa membahagiakan satu-satunya putri yang kumiliki.

Aku terus membaca kata demi kata. Sebuah puisi kesedihan yang menyelimuti buku itu. Saat aku membalik lembar berikutnya, tiba-tiba semuanya berubah. Sebuah kisah yang diawali dengan kesedihan itu mulai diwarnai dengan tawa canda. Ada sosok yang menghapus rasa kesepian Diana. Sosok yang tidak pernah bisa kubayangkan. Bukan seorang anak muda dari keluarga terhormat, ataupun seorang anak berandalan. Sosok itu bukan manusia. Dia adalah iblis!

Biskuit Untuk PasticheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang