Tarian Pelangi

88 15 12
                                    

"BRAK!"

Suara keras dari arah dapur membuatku terkejut. Aku segera berlari, meninggalkan buku diary itu.

"DIANA!" seruku panik. Di sana aku melihat Diana yang sudah tidak sadarkan diri. Aku segera memanggil para pelayan. Membaringkan Diana di kamarnya, dengan cemas segera mendatangkan seorang tabib.

Aku menggenggam tangan Diana. Dingin … Tangannya terasa sangat dingin. Sama seperti saat aku menggenggam tangan ibunya. Yang harus menghembuskan nafas terakhir.

Tubuhku bergetar.

Diana, tolong jangan tinggalkan ayahmu.

Sang tabib tampak putus asa. Menggelengkan kepala sembari berkata bahwa hal ini akan terulang lagi. Diana membawa penyakit yang pernah dimiliki ibunya, bahkan lebih parah.

Aku menunggu di samping Diana. Satu jam, dua jam, sepuluh jam. Hingga matahari pun tertidur dan bulan menjaga langit malam. Melupakan semua tugasku sebagai jenderal. Lebih baik aku kehilangan tahtaku daripada harus kehilangan putriku.

Aku menggenggam erat tangan Diana yang dingin, hingga akhirnya Diana membuka matanya.

"Ayah," sahut Diana, "Maaf aku sudah banyak berbohong pada ayah."

"Cukup Diana, kau tidak perlu berbicara lagi. Kau harus beristirahat."

"Apakah ayah tahu kenapa aku pulang terlambat setiap kali berbelanja? Apakah ayah tahu kenapa aku menyusup keluar rumah malam itu?" Diana mengambil sebungkus biskuit-biskuit kecil dari sakunya. "Aku punya teman, ayah. Satu-satu teman yang kumiliki dalam hidupku yang singkat ini."

"Tidak! Jangan katakan itu!" seruku cemas, "Hidupmu tidak singkat, Diana! Kau harus terus hidup. Kau tidak seharusnya pergi sebelum ayahmu."

"Aku sudah sering berbohong pada ayah. Tapi aku tidak akan berbohong lagi. Karena setiap kata-kata semu yang keluar dari mulutku bagaikan tombak yang menusuk dada. Sama sepertiku janji pada temanku yang tak bisa kutepati."

Diana menyodorkan bungkus biskuit kecil itu padaku, "Ayah, maaf aku sudah sangat egois. Tapi aku punya permintaan egois lagi, permintaan terakhirku. Bisakah ayah memberikan biskuit ini pada temanku, Pastiche?"

Dengan ragu aku meraih bungkus biskuit itu. Namun saat Diana melepaskannya, tangan dingin itu sudah terbaring lemas di kasur. Putriku menutup kelopak matanya, bagai bunga lili yang layu. Bunga itu sudah mati, kelopaknya tidak akan pernah terbuka lagi.

Pastiche.

Semua ini adalah salah iblis itu!

Dengan penuh amarah aku segera pergi. Memanggil para kesatria putih terbaik yang sedang terlelap di tengah malam.

"Malam ini kita akan menghabisi seekor iblis!"

Kami bergerak cepat, menghampiri penjara sang iblis. Hanya dalam waktu singkat aku berhasil menemukan iblis itu di halaman belakang penjara, duduk di dekat pagar pemisah sembari berusaha membaca sebuah surat yang tidak bisa dia mengerti.

Tanpa menunggu lama aku segera berseru, "Bawa iblis itu ke tempat eksekusi!"

Para kesatria putih menarik paksa sang iblis. Namun dia terus melawan. Membakar kesatria putih yang berusaha menyentuhnya dengan api merah.

"Aku tidak akan pergi ke mana pun! Aku sudah berjanji untuk menunggu Diana di sini!" seru sang iblis.

"Jangan seenaknya menyebut nama putriku, iblis keparat! Diana sudah mati, dan semua ini adalah salahmu!"

"Bohong! Diana masih hidup. Dia sudah berjanji akan datang menemuiku."

"Apakah dia memenuhi janjinya? Tidakkah kau menyadari tubuhnya yang lemah. Tubuh yang hancur karena beban janjinya pada iblis bodoh sepertimu!"

Biskuit Untuk PasticheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang