1

19.8K 2.1K 176
                                    

Aku dan dia sama. Namun bukan berarti segala hal harus disamakan. Karena apa yang kami impikan pun berbeda. Termasuk dalam segi agama.

3 tahun sebelumnya...

Pagi hari yang buruk sepanjang sejarah hidupku. Bukan. Bukan karena aku kalah dalam taruhan semalam tetapi kali ini sungguh sangat-sangat buruk bagiku.

Melihat kedua wajah orang tuaku berseri rasanya kata buruk bukan pilihan terbaik. Tetapi itu bagi mereka, tidak menurutku. Karena rasanya sulit dijelaskan apa yang hatiku rasakan saat mendengar bila saudara kembarku meminta ijin untuk menikah bersama seorang laki-laki pilihannya.

Aku rasa laki-laki itu bukanlah pacarnya. Entah bagaimana mereka bisa bertemu, yang jelas aku bisa melihat keyakinan dari pancaran kedua manik mata saudara kembarku, Marzia.

"Fa, sini. Jangan diam aja. Barusan kamu nggak dengar, kalau ada laki-laki mau melamar adikmu."

Ya, Ibu dan Ayahku serta orang-orang di sekitarku selalu memanggil Marzia, atau Zia dengan sebutan adikku. Padahal dirinya yang lahir lebih dulu dari aku, Mafaza.

Namun dari keyakinan dokter, atau dukun, aku lupa di mana Ibuku melahirkan aku. Karena waktu itu aku masih terlalu kecil untuk meyakini tempat apa itu.

Keyakinan tersebut berdampak bila seorang perempuan melahirkan anak kembar, maka anak yang dilahirkan pertama kali biasa dipanggil sang adik. Karena sang kakak sesungguhnya adalah yang membantu adiknya untuk keluar lebih dulu.

Ah, sudahlah. Aku pun bingung menjelaskannya. Yang pasti sampai detik ini, usiaku hampir genap 24 tahun, Marzia, atau Zia adalah adik dari Faza.

"Kak, Fa. Kenapa sedih gitu?" tanya Zia ke arahku.

Mendadak aku bingung harus berekspresi seperti apa. Rasanya agak gila bila aku harus berteriak-teriak seperti supporter bola atau bulu tangkis kebanggaan Indonesia.

"Selamat ya, Zia."

"Makasih Kak, Fa."

"Memangnya siapa laki-laki itu?" tanya Ayah mulai bersuara.

Cie..., pasti dia takut kehilangan satu bidadari cantiknya di rumah ini.

Aku cuma bisa tersipu malu membayangkan kata cantik. Rasanya cuma aku atau hanya aku yang tidak pantas menyandang kata itu.

Bila kulihat dalam-dalam, seperti halnya penilaian masyarakat jaman sekarang. Aku dan Zia benar-benar berbeda. Ya, meskipun wajah kami bagai pinang dibelah dua. Namun selain wajah, kami sungguh-sungguh berbeda.

Zia, seperti perempuan lainnya. Cantik, kulitnya mulus dan terawat. Dia juga memakai hijab, sama seperti Ibu.

Sedangkan aku?

Wajahku kusam. Terlalu sering berkendara menggunakan motor ke sana ke sini. Maklum saja, selain aku bekerja di kantor yang setiap saat pekerjaannya monoton, aku memiliki pekerjaan sampingan. Yakni sebagai driver ojek online.

Kadang pagi sebelum berangkat ke kantor, aku melakukan perjalanan dengan beberapa penumpang lebih dulu. Lalu setelah pulang kerja, aku melakukannya lagi. Sampai tepat jam 10 malam baru aku kembali pulang ke rumah.

Bagiku pekerjaan yang aku jalankan sah-sah saja. Selama tidak merugikan orang lain. Namun Ayahku tidak sepemikiran. Baginya perempuan tidak seharusnya memforsir waktunya hanya demi mendapatkan uang. Karena tugas seorang perempuan sesungguhnya adalah menjadi seorang istri, dan seorang Ibu yang baik agar bisa menjadi contoh untuk anak-anak kelak.

Anak?

Hahaha, rasanya masih terlalu jauh membicarakan masalah anak. Biar saja Zia yang merasakan lebih dulu pahit getir berumah tangga. Ya, meskipun sedikit banyak hatiku sakit. Karena ternyata pada akhirnya, manusia yang terlahir kembar tidak selamanya harus selalu sama dalam segala hal. Termasuk dalam pernikahan.

Surrogate Mother #WATTYS2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang