4

14.9K 1.8K 105
                                    

Note : nggak pernah maksa pembaca untuk suka ceritaku yang alurnya lambat. 😉😉
Kalo cerita alurnya ngebut, itu apa namanya? Cerita atau balap mobil?

Aku gak mau aja kalian malah banyak pertanyaan karena penjelasan yang kutulis tidak detail. Atau tiba-tiba, beng, Faza nikah sama suami kembarannya tanpa konflik batin lebih dulu.

Ini adalah karyaku. Kalian suka, ikuti saja. Tidak suka, jangan dipaksakan. Jadi jangan sibuk mengatur jalan ceritaku.

-------------------

Akan ada saatnya aku meragu pada diriku sendiri. Tanpa sadar keraguan itu membuat banyak orang terluka.

Suara perempuan sedang melantunkan ayat Al-Qur'an samar-samar terdengar di telingaku. Sambil berguling dengan malasnya, aku melihat jam pada ponsel yang kebetulan sedang aku charger di lantai.

Pukul 04.00 pagi.

Masih sambil mengumpulkan semua kesadaranku, aku kembali lagi memastikan suara perempuan yang tengah mengaji sekarang ini.

Beberapa saat aku terdiam. Lalu kemudian bibirku mengulum senyum.

Dari suaranya yang khas, aku tahu siapa perempuan itu. Meskipun aku tidak tahu kapan dia datang, namun 100% aku yakin suara perempuan mengaji itu berasal dari Zia. Adik kembarku.

Sambil mengikat rambut panjangku asal, aku membuka pintu kamar. Dari luar ruangan kamarku, suara lantunan ayat suci Al-Qur'an semakin jelas terdengar.

Perlahan aku memejamkan kedua mata ini. Menikmati suara khas itu yang sudah beberapa bulan ini tidak aku dengar.

Zia kembali. Pikirku bersorak senang. Meskipun aku tahu kedatangannya ke rumah ini tidak akan bertahan lama. Karena status Zia kini sudah berubah. Menjadi seorang istri yang harus setia di samping suaminya.

Dalam beberapa saat ada perasaan sedih muncul di hatiku. Merasakan kehilangan sosok yang dulunya adalah kawanku berbagi makanan di dalam rahim Ibu.

Ya ampun, mengapa aku secengeng ini. Hanya karena memikirkan Zia saja, entah mengapa aku malah menangis. Memangnya apa yang harus aku tangiskan?

Kini Zia telah bahagia. Apalagi yang harus diragukan?

Yang seharusnya menjadi prioritas perhatianku adalah bukan Zia. Melainkan bagaimana caranya menikmati hidup sebelum Tuhan tahu bila beberapa waktu ini hidupku begitu mulus tanpa masalah yang berarti.

"Fa, tumben kamu bangun pagi." tegur Ibuku begitu kaget.

Aku di sini cuma bisa mengelus dada. Tidak ingin menjawab kalimat Ibu barusan. Karena semua manusia akan melakukan hal yang sama. Ketika ada sesuatu hal di dekatnya terjadi tidak seperti biasa, maka akan dijadikan topik utama.

Mungkin bila aku adalah sosok anak yang mudah baper, mendengar kalimat Ibu tadi, aku langsung tidak ingin bangun pagi untuk selamanya.

Namun aku bukanlah sosok perempuan yang seperti itu. Lagi pula apa yang Ibu katakan memang benar.  Yang perlu kulakukan hanya menyabarkan diri. Kadang memang mendengar fakta lebih menyakitkan dibandingkan dengan kebohongan.

"Ayo, ikut sholat jamaah. Ada Firman yang mau mengimami kita." ajak Ibu sambil menjelaskan.

"Kapan-kapan aja deh, Bu. Sekarang mah lagi nggak bisa sholat." jawabku jujur.

"Kamu kapan bisanya sih sholat? Tunggu Ayah sama Ibu meninggal dulu? Atau tunggu kamu sendirian dulu di dunia ini, baru kamu ingat Tuhan." tegur Ibuku begitu keras.

Surrogate Mother #WATTYS2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang