2

15K 1.9K 141
                                    

Ketidak berdayaanku melawan takdir akhirnya membuka jalanku menuju ke arah yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Malam lamaran itu akhirnya datang. Beberapa hari sebelumnya aku tidak mendengar cerita apapun dari Pak Firman mengenai lamaran ini. Sehingga akupun malas berkomentar. 

Namun ketika malam ini dia datang, dan melihat aku ada di rumah dimana calon istrinya berada menimbulkan tanda tanya besar baginya.

Aku mencoba pahami mengapa dirinya kaget akan kehadiran diriku, karena dari cerita yang Zia katakan kepadaku, Pak Firman ternyata melakukan ta'aruf pada adik kembarku itu.

Sungguh luar biasa bukan. Pada masa modern ini dimana mereka yang menikah biasanya telah lebih dulu berpacaran, namun apa yang dijalani Pak Firman dengan Zia sungguh berbeda. Mereka menikah setelah saling bertukar proposal yang kebetulan dibantu oleh adik perempuan Pak Firman.

Usut punya cerita, Zia, adik kembarku ini saling mengenal dengan adik perempuan Pak Firman di sebuah pengajian. Lalu entah bagaimana jalannya, Zia dan Pak Firman bertukar proposal diri. Sampai akhirnya memutuskan untuk menikah.

Yah, mungkin bagi orang yang beragama, hal seperti itu adalah hal biasa. Namun bagiku sungguh luar biasa tak pernah terbayangkan.

Jika aku diposisi Zia, aku tidak akan mau melakukannya. Ya kali, aku menikah dengan laki-laki yang hanya kutahu nama sama tanggal lahirnya saja.

"Kamu, ngapain di sini?" tegur Pak Firman.

Aku cengengesan saja saat dia nampak kaget atas kehadiranku. Lagian gaya-gayaan menikah pakai ta'aruf.

"Rumah saya di sini, Pak." jawabku sambil melengos meninggalkannya. Sekali-kali membuatnya naik darah tak masalah rasanya.

Dapat kulihat kedua orang tua Pak Firman sibuk berbicara dengan Ayah Ibuku. Mereka tertawa-tawa sambil melirik ke arah Pak Firman yang mati kutu.

Lalu tak lama, Ibu memintaku untuk membawa Zia agar bergabung dengan mereka.

Aku mengikuti saja. Selama apa yang mereka pinta tidak memberatkanku, akan kulakukan.

"Duh, wangi banget." godaku pada Zia.

Kedua pipi kembaranku itu memerah. "Aku deg-deg'an Kak."

"Ngapain deg-deg'an. Ini kan baru pertunangan."

"Tapi Mas Firman maunya langsung tentuin tanggal pernikahan." jawab Zia yang langsung membuatku terkekeh geli.

Mas Firman.

Sambil berpura-pura batuk, aku menutupi kegelianku. "Ya bagus dong. Secara kamu nggak dia gantungin kayak jemuran." tawaku geli.

"Ih, Kak Fa. Jangan gitu. Awas ya, kalau nanti Kakak nikah, aku yang godain paling kenceng."

"Godain aja. Paling kamu nggak akan bisa."

"Bisa lah. Kecuali aku udah nggak ada di dunia ini." jawab Zia asal yang langsung kucubit pipinya dengan kencang.

Kebiasaan dia, kalau bicara tidak pernah dipikirkan lebih dulu. Padahal dia yang ilmu agamanya lebih baik. Masa dia lupa kalau ada malaikat yang bertugas mencatat segala hal yang dilakukan di dunia ini.

***

Ternyata benar apa yang dikatakan Zia. Malam itu setelah pertemuan keluarga, akhirnya tanggal pernikahan telah ditetapkan.

Awal bulan depan. Yang berarti beberapa hari sebelum tanggal kelahiran kami, aku dan Zia.

Kadang bila aku melihat Zia, betapa beruntungnya dia. Namun jika disuruh memilih apa aku mau seperti dirinya atau tidak, tentu saja aku akan menolak. Karena aku ingin menuliskan cerita hidupku sendiri. Bukan sebagai seorang anak yang dilahirkan kembar. Tetapi sebagai perempuan biasa.

Surrogate Mother #WATTYS2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang