3

14.4K 1.7K 169
                                    

Pernikahan bukan akhir segalanya. Namun langkah awal membentuk bahagia selamanya.

Kondeku hampir saja copot sewaktu tangan ini begitu gatal menggaruk kepala. Jujur saja aku pusing. Melihat semua orang sibuk berjalan ke sana ke sini mengurus semua keperluan pagi ini. Pagi dimana kembaranku akan memulai kisah baru bersama laki-laki yang telah dia pilih.

Sampai detik ini, aku akui belum banyak yang dapat kubantu untuk kebahagiaannya. Namun yang terpenting, doaku tak pernah putus untuknya. Karena aku pun tahu, bila Zia akan selalu mendoakanku jauh lebih banyak dari apa yang kulakukan untuknya.

"Kok kamu nggak pakai kerudung, Fa?" tanya Ayah ketika dia melewatiku.

Loh, sepertinya Ayah lupa. Bila putrinya yang satu ini memang tidak berkerudung. Lalu apa aku harus memakainya saat ini agar diakui sebagai putrinya juga?

Yah, mungkin saja dia malu dengan tamu. Memiliki anak kembar tapi sangat berbeda keyakinan. Eits, bukan berarti aku sudah pindah agama. Tapi hatiku saja yang masih belum yakin untuk menutup diri. Dari pada nantinya aku menjadi perempuan labil, lebih baik jangan coba-coba.

"Sana bantu Zia. Dari tadi katanya dia cari kamu." ucap Ayah kembali saat dia tidak mendengar satu katapun dari bibirku.

Sambil mengangkat tinggi kain kebayaku, langkah kaki ini nampak tidak seimbang menuju kamar di mana Zia berada. Bagiku, hari ini seperti neraka. Bukan karena aku sedih atau kesal atas pernikahan Zia. Namun ya Tuhan, siapa sih yang menciptakan pakaian seribet ini untuk perempuan? Memangnya harus pakaian perempuan dibedakan dengan laki-laki? Bukannya Zia selalu bilang semua manusia sama di mata Tuhan. Yang membedakan adalah akhlaknya. Lalu mengapa sekarang aku harus berpakaian seperti ini?

Masih dengan mendumal kesal, aku membuka pintu kamar di mana Zia berada.

Alah, mak. Cantiknya Zia.

Aku memujinya dalam hati karena bibir ini tak bisa berkata-kata lagi. Takut bila memujinya membuat hati ini sakit. Karena kenyataan selalu tak sesuai dengan keinginan.

Aku ingin cantik juga seperti Zia. Tapi aku tidak mau mirip dengannya. Lalu aku harus bagaimana? Apa memang sudah takdirku seperti ini? Menjadi anak kembar yang menyedihkan.

"Kak, Fa." panggil Zia bahagia atas kedatanganku.

Perlahan aku mendekatinya. Menatapnya lekat seperti sedang bercermin. Dia benar-benar mirip denganku. "Kamu cantik, Zia." ucapku pada akhirnya.

Air mata ini tak bisa terbendung lagi. Aku menangis. Merasa tertampar dengan pujian itu.

Ya, Zia memang cantik. Tapi tidak untuk diriku. Meskipun kami adalah sama.

Karena sejak awal aku tidak ingin disamakan olehnya.

***

Akad nikah lancar. Acara syukuran pun lancar. Memang Zia dan Pak Firman memilih untuk tidak membuat pesta besar. Dan aku setuju akan hal itu.

Bukan karena aku berpikir bila semua itu akan menghambur-hamburkan uang. Namun karena aku tidak suka pesta.

Dipesta semua orang akan memberikan penilaian secara bebasnya. Dan pasti yang menjadi sasarannya adalah aku.

Kok Mafaza berbeda dengan adiknya ya, Marzia?

Katanya kembar, kok yang satu nggak kerudungan?

Kembar kok beda?

Kasihan ya, terlahir kembar tapi takdirnya berbeda.

Dan seterusnya, beberapa komentar netizen akan terus berdatangan. Membuat telingaku panas. Karena alasan itulah, aku mendukung tidak adanya pesta.

Surrogate Mother #WATTYS2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang