2

2.5K 267 8
                                    

- L o n d o n -

Mobil kuning mencolok yang sangat mewah kini memasuki area rumah Jean yang sangat mewah. Rumahnya nyaman. Tamannya penuh bunga, juga beberapa kelinci peliharaan yang terkadang dijadikan percobaan oleh ayahnya.

Sayangnya, di dalam rumah Jean tak menemukan titik nyamannya.

Ia bahkan ketakutan dan merasa asing dengan rumah. Seakan-akan rumah adalah tempat yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya.

Menakutkan.

Terlebih satu-satunya hal yang Jean lihat di depan rumahnya saat ini adalah tatapan frustasi dari Dr. Jung—Papa Jean.

Pemuda yang sudah tidak muda lagi itu masih dengan jas putih juga kacamata bundarnya. Di tangannya ada sebuah ponsel yang ia gunakan untuk menelpon berkali-kali. Tampak sekali dari raut wajahnya ia merasa begitu kesal.

Dan Jean yakin Papa pasti sedang mengumpat dalam hati.

Seluruh tubuh Jean menegang melihat sikap Papa. Hampir saja bocah itu mencengkram erat pakaian milik Paman Jeim atau mungkin merobeknya kalau saja pemuda itu tak menenangkan Jean.

"Tak apa, Paman akan berbicara pada Papa. Jangan panik. Paman ada di dekatmu."

Perlahan mereka turun dari mobil. Masih dengan takut-takut, Jean berjalan di belakang Paman Jeim. Mencengkram erat baju bagian bawah pemuda itu. Tak berani menatap Papa yang kini terlihat kaget atas kepulangannya.

"Hei. Kemana saja kau, Jean? Astaga. Masuklah. Cepat."

Itu suara Papa. Papa pasti akan marah besar.

Jean masih menunduk dan berlari masuk ke dalam rumah yang sangat mewah itu. Namun ia tak masuk begitu saja, melainkan berdiri di belakang jendela dan membuka sedikit jendelanya demi mendengarkan percakapan ayahnya juga pamannya. Melihat apakah akan terjadi perang karenanya.

"Kau tahu kan Jung, anakmu itu tak semua sama. Kau tidak bisa menyamakan yang beda dan membedakan yang sama."

"Apa maksudmu?"

Paman Jeim tampak frustasi. Ia menyerahkan dua lembar kertas yang ia dapatkan dari Jean pada Papa. Jean melihat Papa meraih kertas-kertas dengan cukup kasar.

"Apa ini?"

Paman Jeim menghela napas dan kembali berujar, "Itu surat dari sekolah. Tapi tolong mengertilah keadaan anakmu. Berhentilah terlalu fokus pada pekerjaanmu dan urusi anak-anakmu."

Papa malah tertawa, padahal menurut Jean tidak ada yang lucu di sana. Mengapa Papa tertawa?

"Kau mau menasehatiku, hm?" Tawa Papa semakin kencang bahkan terdengar sangat keras lalu menatap Paman Jeim dengan tajam. "Lihatlah dirimu, Hyung. Kau bahkan belum pernah berkeluarga. Jangan sok mengaturku."

Papa kini mengucapkan bahasa yang begitu asing di telinga Jean—bahasa Korea. Tatapan dari mata Papa semakin tajam, Jean pikir sifat monster Papa kembali lagi dan akan memakan Paman Jeim hidup-hidup.

"Kau tahu kan, Hyung. Bagaimana perjuanganku dari Busan hingga sampai ke London? Aku tak akan menyia-nyiakan pekerjaanku begitu saja. Tidak semudah itu."

Saat sedang asyik-asyiknya mendengar perdebatan kedua orang dewasa itu, tiba-tiba ada satu tepukan lumayan keras pada bahu Jean. Jean segera menatap ke arah belakang dan yang ia temukan adalah Justin—kakaknya.

"Tidak sopan menguping, bocah."

Jean langsung menunduk. Ketakutan keduanya setelah kemarahan Papa adalah semua ucapan dari Justin, kakaknya sendiri. Jari jemarinya bermain di bawah. Ia cemas dan gugup.

"Lagipula dari mana saja kau?" Justin menelitik adiknya itu dengan seksama. Dari kepala sampai kaki. "Kau tak tahu betapa frustasinya Papa? Papa mencarimu ke mana-mana dan kau ... malah bersenang-senang dengan Paman Jeim."

"A ... Aku ...."

"Tch, dasar bodoh."

Justin terkekeh dan menepuk kembali bahu Jean, lebih keras dari sebelumnya. "Kau tak tahu, ya? Mama meninggal gara-gara melahirkanmu. Kau itu menyusahkan. Dasar tidak tahu diri. Kenapa tak pergi saja, hm? Papa pasti bahagia kalau kau tak ada."

Benarkah ucapan Justin?

Haruskah Jean pergi saja?

Sejauh-jauhnya demi kebahagiaan Papa?[]

Singularity | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang