- Di suatu tempat yang jauh -
Matanya perlahan terbuka dan menemukan dirinya dalam sebuah kereta yang cukup sederhana.
Aneh, bukankah tadi Jean menaiki kereta listrik yang canggih?
Kereta itu berbunyi cukup nyaring dan seperti ada angin pekat di atasnya. Jean menatap takjub.
Ia benar-benar pergi jauh.
Sebentar lagi kereta akan berhenti di suatu stasiun. Jean pun bersiap-siap untuk turun. Suasana di sini juga nampak asing. Sepi. Nyaman. Tenang. Di sekeliling Jean, ia menatap hamparan sawah membentang dan tampak gelap karena sekarang sudah malam.
Sialnya ia tak dapat menikmati semua itu dengan damai, ia sangat lapar sekarang.
Ia butuh makan. Ia harus membeli roti strawberry dan juga es krim durian. Tak jauh dari sana, ada sebuah penjual roti dan es krim. Jean segera berlari dan menghampiri penjual itu.
Wah, ada penjual es krim saat malam?
"Satu es krim durian dan satu roti strawberry."
Ia meraih kartu ATM di sakunya, tetapi yang ia temukan adalah uang lembaran. Tak ada ATM. Bahkan jenis uangnya pun berbeda dari uang yang biasa ia gunakan. Namun Jean tak berpikir panjang, ia langsung saja membayarkan uang itu dan menerima es krim dan rotinya.
"Gomawo." (Terima kasih)
"Hm, kombawo?" tanya Jean polos.
Penjual itu terkekeh dan mengoreksi ucapannya. "Maksudku, terima kasih. Kau berasal dari jauh ya?"
Paman penjual itu sama lucunya dengan Paman Jeim. Rasanya Jean merindukan pamannya itu. Sayangnya ia sedang pergi jauh.
"Ah begitu, sama-sama. Iya, aku dari jauh. Sangat jauh. Thank you, Paman."
Penjual itu tersenyum. "Baiklah. Hati-hati."
Saat tengah asyik menyantap rotinya di sebuah kursi panjang yang cukup tua di stasiun itu, tak jauh dari sana ada seorang anak yang menatapnya dingin. Anak itu memegang perutnya.
Ia tampak sangat kumuh, sepertinya ia tak pernah mandi atau mungkin tak pernah mengganti pakaiannya.
Jean menatapnya balik, ia mengerti sepertinya anak itu kelaparan juga sama sepertinya. Dengan dorongan hati kecilnya, Jean mendekat. Ia menghampiri anak itu dan berbagi es krim durian miliknya. Tanpa berpikir panjang.
"Untukmu."
"Ah? Aku? Gomawo." Anak itu terkejut tetapi sangat senang. Ia meraih es krim durian di tangan Jean.
"Gomawo too," celetuk Jean yang membuat anak itu terkekeh. Jean juga ikut terkekeh dan mereka terkekeh bersama.
Jean tak mengerti apa yang orang-orang di sini katakan, tapi ia tak merasa asing. Papa sering mengucapkan kata-kata sama seperti di sini walaupun Jean tak tahu artinya.
Herannya, kenapa bocah itu mengerti apa yang Jean katakan? Dan setelah berbicara cukup banyak, bocah itu berkata bahwa ia bisa berbahasa inggris karena ia sudah belajar dari kecil.
"Siapa namamu?" tanya Jean di sela mengunyahnya.
"Jungkook. Panggil saja Jung."
Tak asing. Itu seperti nama Papa.
"Kenapa? Oh iya, siapa namamu? Kau dari mana?" Jung mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Jean.
"Tidak. Namaku Jean. Aku dari London," kata Jean sembari membalas uluran tangan Jung.
"London?" Jung tampak kaget dengan ucapan Jean. "Apa kau menyebrangi laut?"
"Entahlah. Apa kereta bisa berjalan di laut?" ujar Jean polos. "Di mana aku sekarang?"
"Kau ada di Busan, Korea Selatan. Aku melihat di peta, tempatmu sangat jauh dari sini. Bagaimana bisa?"
Jean tampak bermain dengan pikirannya. Ia seperti pernah mendengar nama tempat itu. Kalau tidak salah saat perdebatan Papa dan Paman Jeim.
"Entahlah."
Jung tak menanggapi lagi, bocah itu juga masih bermain dengan pikirannya. Seakan ada satu hal yang ingin sekali ia pecahkan. Tetapi apa?
Jean kini melirik ke arah jam tangannya. Masih tanggal 7 Oktober jam 7.10 PM.
Apa jam tangannya rusak?
Setelah melahap habis makanannya, mereka tampak merasa penuh dan kekenyangan. Keduanya bersandar di kursi panjang dan mengelus perut mereka.
"Wah, enak sekali," ujar Jean.
"Eh, Jean. Mau menghabiskan waktu bersama tidak?" tawar Jung pada Jean. Jean tentu saja mengangguk antusias pada ajakan Jung.
"Ayo. Tentu saja."
Mereka pun bergegas. Berlarian ke sana ke mari demi mencari kesenangan.
Jean menghabiskan banyak waktu menyenangkannya bersama Jung. Mereka tertawa bersama dan berbagi cerita tentang banyak hal. Termasuk tentang kepergian mereka dari rumah. Tentang keluarga mereka. Tentang sekolah mereka. Tentang segala hal.
Dan mereka punya kesamaan, tak ada tempat untuk pulang dan mereka bahagia dengan itu semua.
Jean rasa, pergi tak selalu menyedihkan. Kadang pergi akan mengantarkan kebahagiaan yang lebih dan lebih. Kini malam sudah tiba. Bintang mengisi seisi langit gelap. Bintang-bintang itu menemani bulan yang dari dulu selalu sendiri.
Mereka sepertinya bahagia.
Jean dan Jung tidur di sebuah padang rumput yang menghijau sembari menatap pemandangan apik itu.
"Kau punya harapan, Je?"
Jean mengalihkan pandangannya pada Jung yang tiba-tiba bertanya demikian. Sejenak ia menggali semua yang ada di otaknya. Mencoba mencari-cari apa yang ia harapkan.
"Kurasa, harapanku adalah aku ingin melihat Papa bahagia."
"Kau hebat." Jung tersenyum dan menatap Jean. "Kau peduli pada orang lain di tengah-tengah orang yang tak pernah memedulikanmu."
"Benarkah?"
Jung mengangguk dan kembali menatap langit. Ada bintang jatuh.
"Kadang orang dewasa itu egois. Mereka hanya memikirkan kesenangan mereka sendiri hingga mengorbankan kebahagiaan kita." Jean tersenyum kecut dan menatap bintang yang kini berkelip dan membentuk sebuah garis. Bintang jatuh. "Ayo buat harapan bersama."
Jean melihat bintang itu jatuh. Ia tahu perihal cerita itu dari Bibi dan ia langsung memejamkan matanya. Ia berharap apa yang ia inginkan terkabul. Semoga saja.
Setelah membuat harapan itu, Jean kembali menatap Jung yang tampak memfokuskan matanya dengan tatapan kosong ke langit. "Apa harapanmu, Jung?"
Jung tersenyum kembali. Ia masih menatap langit itu dan perlahan tangannya seakan menggapai bulan. "Banyak. Aku ingin menjadi seorang dokter. Kehidupan yang bagus. Mungkin menikah dan punya anak. Akan kuberi dia nama yang spesial sepertimu. Kau orang hebat dan juga baik." Jung mengepalkan tangannya dengan sangat ambisius. "Dan harapan terbesarku adalah ... Semoga kita bertemu lagi di London."
Jean ikut menatap langit dan tersenyum lebar. Ia tak tahu harus merespon apa, tetapi ia yakin semua harapan adalah baik. Semoga saja Tuhan mendengarkan harapan mereka.
Tak berselang lama kantuk menyerang Jean. Berkali-kali ia menutup dan membuka matanya untuk menghalau rasa kantuknya, sayangnya rasa kantuk itu semakin menguasainya. Hingga tanpa sadar matanya terpejam bersama dengan Jung.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Singularity | ✔
FanfictionJean tidak bodoh, dia hanya kurang pandai mengingat. Dan Jungkook terlalu buta untuk melihat kenyataan bahwa Jean tak berbeda dengan Justin. Mereka sama, mereka adalah anaknya. Copyright © 2018, bubblesyoon.