6

2K 238 6
                                    

- L o n d o n -
kepergian papa

Saat membuka mata lagi. Jean sudah di tempat berbeda. Kini tempat itu berdominan putih. Dengan lampu-lampu yang sangat terang. Di sampingnya ia menemukan Justin, bukan Jung. Sepertinya juga bukan di Busan.

Ini London.

"Kau bangun juga akhirnya, Je."

Justin tersenyum cerah. Ia memeluk Jean begitu erat dan melepaskannya dengan cepat. Jean tampak kebingungan.

"Di mana aku?"

"Di rumah sakit."

Mengapa di rumah sakit?

Ada apa? Apa yang sakit? Apa rumahnya sakit? Apa rumahnya juga butuh obat?

Jean masih bergelut dengan pemikiran anehnya. Sebelum ia menanyakan hal-hal itu, lebih dulu Justin menceritakan beberapa hal.

"Kereta yang kau tumpangi mengalami kecelakaan. Waktu itu ada kabar bahwa kau menjadi korban, saat itu Papa mencarimu sekuat tenaga. Untungnya sukarelawan menemukanmu."

Jean tampak menyimak kata demi kata yang keluar dari mulut Justin. Mencoba memahami semua itu dengan kepolosannya.

"Kau mengalami pendarahan yang cukup parah dan kami semua, Papa, aku, dan Paman Jeim membawamu ke tempat ini. Kami semua menangis."

"Lalu, di mana Papa?"

"Dengar. Papa melakukan operasi untukmu hampir lima belas jam di sebuah ruangan tertutup. Ia berusaha keras membuatmu tetap hidup." Justin menghela napas panjang dan susah payah menahan tangis. "Papa sangat-sangat bahagia karena kau selamat, tapi Papa kelelahan setelah itu dan ... meninggalkan kita. Selamanya. Ia pergi ke surga."

Justin menunduk dan menggigit bibirnya dalam. Ia tahu bahwa selama ini ia salah. "Aku kira Papa membencimu karena ia memperlakukanmu berbeda denganku. Nyatanya, Papa sangat menyayangimu. Sangat. Ia tak pernah membencimu sama sekali. Saat aku berpikir bahwa akulah anak kesayangan Papa, itu salah besar."

Justin menghela napas untuk kesekian kalinya. Sangat-sangat menyakitkan mengingat semua terlebih perlakuannya terhadap adiknya sendiri. "Papa pernah berkata, saat sebelum kau pergi dari rumah, kau itu orang hebat seperti orang yang dulu Papa temui saat kecil. Kau orang baik. Kau lebih mementingkan kebahagiaan orang lain daripada dirimu sendiri. Seperti dulu saat kau membelaku karena aku mencuri kue pie di tempat Bibi Ema. Maafkan aku."

Hening.

Jean tampak berpikir sejenak. Otaknya seakan menari-nari. Ia butuh waktu untuk mengerti, sampai akhirnya ia mendapat satu kesimpulan.

"Apa Papa sekarang di surga bersama Mama, Kak?" tanya Jean polos.

Satu tetes air mata berhasil membasahi pipi Justin. Ia tak dapat menahannya lagi. Terlalu sakit.

"Hm, mereka sudah bahagia. Mereka dapat bertemu kembali. Karenamu."

Justin tersenyum dan mengusap gusar pipinya yang basah.

"Aku juga bahagia mendengar Papa bisa bahagia. Harapanku terkabul."

Jean tersenyum. Ia tidak menangis. Karena ia tahu Papa sudah bahagia. Ia juga harus bahagia karena Papa bahagia.

Ia juga harus bahagia kan?[]

Singularity | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang