1

4.1K 294 1
                                    

- L o n d o n -
di sore yang menggigil.

Kiranya sudah tiga jam lebih bocah berusia sepuluh tahun itu terduduk di kursi panjang yang terjajar rapi pada stasiun kereta listrik yang saat ini menjadi tempat singgahnya.

Sepatu putihnya yang kini tak seputih awalnya menghentak-hentak tak beraturan. Sementara mulutnya terkatup rapat sembari tenggelam dalam pemikirannya sendiri.

Ditatapnya langit senja yang sebentar lagi usai. Tak sampai sepuluh menit, sinar pekat jingga matahari telah menelan habis langit biru dalam sekejap. Burung-burung gereja pun ikut terbang dengan bebasnya mengikuti sang matahari yang menggelamkan diri di ujung barat.

Sudah lebih dari jam pulang sekolah, tetapi Jean tak bernapsu sedikit pun untuk segera menapaki lantai rumahnya. Bahkan jarak rumahnya terbilang cukup dekat jika ditempuh dengan kereta listrik yang kecepatannya melebihi mobil ayahnya yang sangat mewah.

Lalu untuk apa Jean kemari?

Bocah itu juga tak tahu jelas apa tujuannya kemari, yang jelas satu-satunya alasan adalah kedatangan Paman Jeim yang membawakannya sebungkus roti strawberry dengan taburan keju di atasnya dan satu cup es krim durian dengan taburan chocochips yang menggoda.

Membayangkannya saja Jean sudah menelan ludah.

Tak sampai dua menit berlalu pemuda berumur cukup matang dengan memakai seragam masinis itu datang dan duduk di samping Jean. Senyum dari pemuda itu sangat cerah bahkan mata sabit itu ikut tenggelam di dalamnya. Paman Jeim mengusap pelan puncak kepala Jean sembari menyodorkan pesanan Jean di tangannya.

"Kau menunggu lama, hm?"

Jean mengangguk antusias dan meraih makanannya itu. Ia memakan dengan cukup lahap roti di tangannya dan membiarkan es krim duriannya perlahan mencair. Itu kebiasannnya. Kadang Paman Jeim sampai menggelengkan kepala melihat tingkah keponakannya yang ajaib itu.

"Apa kau ingin Paman antar pulang? Atau ingin berjalan-jalan ke taman dulu? Kau mau?" ujar Paman Jeim saat Jean mencapai suapan terakhir rotinya.

Jean menangguk antusias sebelum akhirnya melahap habis roti di tangannya dan memberikan sisa bungkusannya pada Paman Jeim. Paman Jeim hanya tersenyum tipis dan segera mengajak Jean pergi.

***

Tak ada percakapan yang berarti di antara mereka, setiap Paman Jeim menanyakan beberapa hal, Jean hanya mengangguk atau menggeleng lemah. Selebihnya ia hanya diam---bahkan saat Paman Jeim menanyakan perihal sekolah dan kehidupannya di rumah.

Mobil mewah berwarna kuning yang mereka tumpangi melaju dengan cukup kencang dan membawa mereka menuju ke taman kota. Manik mata Jean tak lepas dari pohon-pohon dan juga rumah-rumah yang bergerak ke belakang menjauhinya.

Kadang saat rasa ingin tahunya sudah memuncak ia tak segan-segan menatap satu pohon dan bergerak mengikuti pohon itu berjalan hingga ke jok belakang. Tentu saja Paman Jeim sangat dibuat kewalahan olehnya.

Namun sayangnya sekarang Jean nampak lebih tenang dari biasanya.

"Are you okay, Je? Ada yang ingin kau ceritakan pada Paman?"

Jean segera menoleh ke arah Paman Jeim, raut wajahnya datar. Kemudian menggeleng lirih.

"I'm fine."

Paman Jeim melambatkan mobilnya dan menatap Jean lebih intens, Jean tahu apa maksudnya itu. Ia hanya menghela napas. Bagaimanapun bocah itu harus bercerita, Jean yakin Paman Jeim akan mengertinya.

Jean menarik tasnya yang ada di bagasi depan. Bocah kecil itu mengeluarkan sebuah kertas ujian dengan sedikit titik-titik basah. Di sudut kanan atas terdapat sebuah tinta merah yang menulisakan sebuah huruf D yang cukup besar.

Paman Jeim menatap nanar bocah itu.

Perlahan ia mencari tempat untuk menepi. Tangan kekarnya meraih kertas itu dan membacanya dengan seksama. Hasilnya memang sangat mengejutkan tetapi Paman Jeim lebih terkejut dengan jawaban-jawaban aneh di sana.

"Bu Guru memarahiku," kata Jean takut-takut. Ia masih menunduk, memainkan jari-jari tangannya. "Dia mengatakan padaku bahwa aku harus belajar lebih dan lebih. Padahal menurutku semua itu sudah benar tapi semua orang malah menyalahkanku. Lalu semua orang menertawaiku, begitu juga dengan ... Justin."

"Kakakmu sendiri menertawaimu?"

Jean mengangguk dan kembali mengambil sebuah amplop dari tas depannya. Amplop itu sedikit lusuh dan terdapat beberapa tetes air di atasnya. Paman Jeim meraih lembaran kertas itu dan mulai membacanya.

"Dan kepala sekolah memberikan itu padaku," ujar Jean dengan suara yang semakin lirih, hampir habis. "Katanya, Papa harus datang ke sekolah kalau aku masih ingin sekolah di sana. Kepala sekolah sedikit lembut mengatakannya tapi matanya seperti seekor singa yang ingin memakanku. Aku ... takut."

Paman Jeim kehabisan akal untuk menjawabnya, ia hanya menatap kata demi kata yang kini seakan menari-nari di otaknya. Lalu matanya menatap Jean yang nampak ketakutan.

"Paman ...."

Satu tetes air mata berhasil membasahi pipi Jean. Sebelum menangis, matanya sudah membengkak dan mungkin ini adalah tangisan yang kedua atau ketiga kalinya.

"Aku ingin Papa bahagia dengan usahaku, tetapi aku malah mengecewakannya."

Seluruh tubuh Jean bergetar hebat.

Paman Jeim tahu ketakutan macam apa yang Jean rasakan. Jean terlahir di keluarga yang bisa dibilang keluarga dengan otak yang luar biasa terlebih ayahnya yang multitalent hingga sukses menjadi dokter terkenal di London serta kakaknya yang berkali-kali menyabet juara satu di sekolah.

Sementara Jean adalah jajaran anak-anak yang mempunyai keterbatasan, sedikit lambat dalam berpikir. Mirisnya, ia sering kali mendapat ketidak adilan.

"Tenanglah," kata Paman Jeim. "Paman akan membantumu untuk berbicara pada Papa, okay? Kau tak perlu khawatir. Kau akan baik-baik saja."

Paman Jeim melepas sabuk pengamannya dan memeluk Jean yang tengah terisak. Tangannya mengelus punggung bocah itu lirih. Jean hanya mengangguk bak anak polos dan sekarang ia mengusap pipinya sendiri dengan kasar.

"Paman berjanji membuat Papa tak marah, kan?"

Paman Jeim hanya mengangguk dan kembali menjalankan mobilnya membawa Jean pulang. Lupakan taman kota, karena itu bukan tempat Jean pulang.[]

Singularity | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang