"Irene! Nggak langsung pulang, lo?" Tanya gadis berambut coklat yang selama satu bulan terakhir ini menjadi teman sebangku Irene.
Irene mendongak untuk menatap temannya itu. Sambil mengulas senyum ia menjawab, "Enggak, Nin. Ada urusan dulu. Lo duluan aja."
Bukannya segera pulang, gadis dengan nama Karenina yang tertera di nametagnya itu malah mendengus sebelum mencebikkan mulutnya. "Kalo cuma ke sanggar lukis, 'kan bisa barengan gue, Ren. Searah kali. Lo tetiba amnesia apa gimana sih?"
"Ng, gue nggak ke sanggar, sih. 'Kan lo tahu ini hari apa. Ekskul gue hari Selasa kemarin, Nina cantik."
"Jangan bilang lo mau ke Gedung B lagi?" Karenina memasang wajah lelah. "Temuin dong, Ren. Masa cuma liatin abis itu pulang." Gadis itu berkacak pinggang dengan ekspresi wajah yang selalu dapat Irene artikan dengan kesal dan gemas.
Irene menggigit pelan bibir dalamnya. Rautnya ikut berubah bimbang. Tanpa membawa ranselnya ia segera membawa buku sketsa dan pensil mekanik kesayangannya. "One day deh, Nin. Gue duluan, ya! Salam buat Devan!"
Karenina mengangkat bahunya. Kepergian Irene yang terkesan buru-buru mengisyaratkan bahwa Irene tak berminat mendengar celotehannya lagi. Ia tak mengerti dengan jalan pikir Irene. Tapi ia juga tak berhak memaksanya. Yah, perasaan itu milik Irene dan hanya Irene yang berhak menentukan keputusannya.
--
She stares at her ceiling once again, with 100 thoughts.
Lagi, Irene menatap langit-langit Gedung B. Ia baru saja menonton latihan tim sepak bola yang terlihat jelas dari teras lorong Gedung B.
Ia menyandarkan punggungnya ke dinding. Mulai mengangankan hal-hal manis jika ia bertemu striker klub sepak bola sekolah itu.
"Maybe he knows who I am?"
"actually, probably not.""Mungkin enggak ya, dia juga suka sama gue? Atau sekedar tahu?" Ia menyunggingkan seulas senyum sebelum kembali mengamati laki-laki yang tengah menjadi pusat dunianya.
Laki-laki dengan senyum manis yang selalu ia bagikan. Yah, anggap dia ramah karena sebenarnya Irene tak pernah benar-benar berinteraksi dengannya. Lihat saja tawa renyah itu. Bukankah laki-laki itu sangat periang?
Senyum Irene perlahan luntur melihat banyaknya perempuan yang berebut memberi air mineral atau sekedar meneriakkan nama laki-laki itu. "Ah, mana mungkin dia tahu gue."
Irene mengalihkan pandangannya pada buku sketsa yang sedari tadi didekapnya. Sketsa kasar yang dibuatnya tadi malam. Sesekali ia beralih memandang bintang lapangan yang ia jadikan objek gambar itu. Membandingkan apakah sketsa itu sudah cukup mirip untuk ia lukiskan di kanvas.
Juga membandingkan apakah laki-laki itu bisa sedekat jarak buku sketsa yang selalu ia dekap, suatu hari nanti.
--
a.n.
hai, teman pembaca! terima kasih sudah membaca song-fiction ini. silakan memberi kritik dan saran. i'd love to read all of your comments!
untuk yang belum kenal dengan penyanyi dari lagu yang aku pakai sebagai referensi song-fiction ini bisa browsing di instagram: @tatemcrae atau youtube channel: Tate McRae. she's just 14 yo but she's so amazing and talented! bet you'll like her.
sampai jumpa di bab selanjutnya!
-ara
p.s: anyway, selamat hari buruh (read: libur) nasional-eh, atau internasional?
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day [ ✓ ]
Short Story[COMPLETE] Cyrus, does the sun love the moon as much as the moon did? could you tell me, one day? -Lunetta. - a song fiction inspired by "One Day -Tate McRae" ©brunchsupper//2018 photo creds: pinterest, from its creator start: 29 April 2018 end: 30...