Voice of Him

73 11 4
                                    

p.s. aku ganti blurbnya. better read it ya, teman-teman. terima kasih. happy reading!

//

Semenjak dinyatakan menjadi salah satu tim yang akan berlaga di tingkat semifinal, tim sepak bola sekolah terlihat lebih sering berlatih. Baik di sekolah, maupun di luar sekolah. Yang sangat disayangkan Irene karena tidak mungkin ia menonton laki-laki itu di lapangan luar sekolah. Lapangan itu pasti sepi dan kehadirannya akan terlihat sangat mencolok.

Tidak, Irene tidak sedang berspekulasi. Ia benar-benar pernah mencoba datang ke lapangan tempat tim sepak bola berlatih yang kebetulan dekat dengan daerah rumahnya. Dan yang didapatinya bukanlah situasi yang menyenangkan. Lapangan itu tidak seramai lapangan sekolah saat tim sepak bola berlatih. Hanya ada pelatih, asisten pelatih, dan beberapa perempuan yang Irene ketahui sebagai pacar dari anggota tim sepak bola-selain laki-laki itu tentunya. Irene sudah memastikan kalau laki-laki itu tidak sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Yah, kecuali kalau mereka backstreet.

Tapi hari ini sepertinya adalah hari keberuntungan Irene setelah hampir dua minggu ia tidak melihat laki-laki itu. Jadwal latihan tim sepak bola tiba-tiba berpindah ke hari Selasa bertepatan dengan jam ekskul Irene.

Sebersit rindu terkadang mengganggu Irene meski ia selalu berusaha menepisnya dengan alasan yang selalu sama "Perasaan gue belum sejauh itu buat kangen sama dia, gue nggak mau jatuh terlalu dalam." Apalagi ada Karenina yang terus-terusan menggodanya untuk segera mengungkapkan perasaannya.

Tapi sekeras apapun Irene berusaha menepisnya, yang ia rasakan adalah kelegaan saat akhirnya ia bisa melihat laki-laki itu lagi. Ganjalan rindu yang—meski selalu dielaknya—selama ini luruh begitu saja. Membuat moodnya membaik dan senyumnya terulas meski tipis. Bahkan tanpa sadar ia berjalan keluar Gedung B tanpa menundukkan kepalanya seperti biasa.

"Hei, elo!" Terdengar panggilan yang entah kenapa membuat Irene merasa bahwa panggilan itu ditujukan padanya. Padahal kalimat itu sama sekali tidak membawa nama Irene.

Ia mencoba menengok pelan. Sedikit terkejut saat mendapati laki-laki itu masih disana, Irene lebih memilih segera meninggalkan Gedung B ketimbang mempermasalahkan panggilan tadi.

Irene tak ingin laki-laki itu—juga teman-temannya—mendapatinya sebagai orang aneh yang berkeliaran di gedung orang.

I've understood
that you will never be mine,

Sekeluarnya dari Gedung B, Irene menggelengkan kepalanya pelan dengan gerakan samar, tak ingin tampak aneh dan memancing kehebohan. Bayangan laki-laki itu terus memenuhi otaknya. Mengirim sinyal pada saraf di pipinya untuk menarik senyum. Juga menyebarkan rona merah yang sulit ia kontrol.

Hei, gue kenapa sih? Duh, jadi kepikiran dia mulu. Hati, udah dong. Jantung, kalem please, batin Irene pada hatinya.

and that's fine
I'm just breaking inside.

Menepis semua ketidakmungkinan yang ada, Irene membiarkan semua sensasi aneh kala jatuh cinta menghinggapi hati bahkan otaknya-sesekali.

Tak perlulah laki-laki itu tahu jika malah menimbulkan kecanggungan dan rumor.

Terkadang, dicintai memang lebih mudah. Namun mencintaipun tak kalah indah. Begitu prinsip Irene. Ia memilih untuk menyembunyikan perasaannya. Cukup ia dan Tuhan yang tahu. Tak masalah. Itu pilihannya.

Gue tahu, nggak semua ingin bertemu dapat. Begitu juga perasaan gue. Perasaan sepihak ini nggak membebani gue sama sekali. Dan gue sangat berharap-mungkin suatu saat nanti-kalau akhirnya gue mengungkapkan perasaan gue, semoga perasaan ini juga nggak membebani lo,

Arka.

--

a.n.

hai, teman pembaca!

here you go, meet irene's crush: arka!

"terus, cyrus sama lunetta di blurb siapa, deh?"

no, kita nggak main tebak-tebakan kok! aku akan segera kasih tau di chapter selanjutnya. stay tune, ya!

sampai jumpa di bab selanjutnya!

-ara

One Day [ ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang