"Makasih semuanya buat hari ini! Nusamayantara!"
"Jaya!"
Setelah menjawab dengan semangat, Arka tidak langsung kembali ke kelas atau berganti baju. Entah kenapa ia masih ingin memainkan bola sepak itu. Lagipula, hari ini adalah jadwalnya dan Irvan-yang sedari 8 menit yang lalu izin ke toilet tapi belum juga kembali-untuk mengembalikan bola yang tadi dipakai untuk latihan ke ruang inventaris.
Arka mencoba memainkan satu bola sepak dengan berbagai gaya. Ia juga mencoba mengegolkan bola ke gawang yang tentu saja sangat mudah karena tidak ada penjaga gawang atau kiper.
Setelah merasa semakin lelah, Arka menyelonjorkan kakinya di lapangan berumput itu. Merasakan sepoi angin sambil memandangi pohon rindang yang ada di dekat lapangan.
"Woy, Ka!" Itu suara Irvan. "Sorry gue lama. Tadi gue sakit perut." Irvan terkekeh sedangkan Arka mencebik.
"Yaudah, gue udah beresin bolanya. Mending sekarang kita bawa ke ruang invent," ajak Arka sambil mengangkat tas besar berisi beberapa bola sepak dan peralatan latihan lainnya.
"Kuy!" Entah lupa atau memang tidak tahu diri, Irvan malah berjalan lebih dahulu di depan Arka tanpa membantunya membawa bola-bola tersebut.
Mengembuskan napas kasar, Arka yang kesal berteriak sebal, "Woy, kagak bantuin gue, gue tagih lunas duit kas lo sekarang, nih!"
Irvan sontak berbalik badan mendengar seruan Arka. Ia baru ingat kalau temannya ini adalah bendahara ekskul dan dia belum membayar uang kas ekskul selama tiga bulan. Irvan segera mengahmpiri Arka dan membantu membawa alat latihan mereka.
"Jangan gitu dong, Pak Bendahara. Mendadak kere ntar, gue!"
--
"Van, lo duluan aja, barang gue ada yang ketinggalan di atas," ucap Arka saat mereka berjalan keluar dari ruang inventaris.
Irvan mengangguk pelan mengiyakan perkataan Arka. Mereka berpisah di depan Gedung B karena Irvan akan langsung menuju ke lapangan parkir.
"Duluan, bro!" Seru Irvan yang dibalas acungan jempol oleh Arka.
Arka segera masuk ke Gedung B dan berjalan menuju tangga. Sekilas ia melihat bayangan seseorang di tangga. Seseorang yang ia kenali sebagai perempuan yang menghindarinya semingguan ini. Arka tak tahu pasti alasan perempuan itu, tapi ia yakin perempuan ini sepertinya enggan melihat kehadiran Arka di sekitarnya.
Dengan sengaja, Arka menaiki tangga dengan pelan dan berdiri tepat di hadapan perempuan yang suka sekali menunduk itu begitu langkah mereka tiba di persimpangan tangga. Arka menghabiskan jarak hingga tersisa dua anak tangga yang memisahkan mereka. Dengan jarak itu, perempuan itu jadi memiliki tinggi yang sepantaran dengan Arka.
Iseng, Arka berkata, "Permisi?"
Begitu mendengar suara Arka, perempuan bernama Irene itu semakin menundukan kepalanya. Kakinya bergerak gelisah seolah ingin segera beranjak namun tak punya keberanian. Kaki Irene akhirnya memilih bergerak semakin ke kiri untuk menghindari Arka sekaligus memberi Arka jalan untuk segera melaluinya. Tapi, lagi-lagi dengan sengaja dan iseng, Arka terus mengikuti pergerakan Irene sehingga ia terus berdiri di depan Irene. Begitu terus hingga setengah menit berlalu dan Irene memilih berhenti bergerak. Arka hampir saja tertawa kalau dia tidak menekan bibirnya kedalam dan berdeham pelan.
One day, maybe she'll stay
and start to head over his way.
"Ehm. Irene, ya?"
Takut-takut, Irene mengangkat kepalanya perlahan. Bola matanya bergerak tak tentu arah menghindari tatapan Arka. Irene menghela napasnya pelan sebelum menjawab, "Iya. Sorry, boleh gue lewat? Gue buru-buru."
Mengabaikan kalimat Irene, Arka malah balik bertanya. "Lo ngehindarin gue, ya?" Arka menjeda kalimatnya agar Irene memberikan atensi padanya.
"Apa kita pernah punya masalah? I mean, gue pernah ngelakuin sesuatu gitu yang bikin lo nggak suka sama gue? Gue.. ngerasa nggak enak aja tiap gue mau nyapa lo, lo malah ngehindar gitu."
--
And one day, she'll look into his eyes
And instead of breaking, she'll call him mine
Irene terkejut mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan Arka itu. Sangat. Ia mulai menyalahkan dirinya yang membuat Arka jadi merasa seperti itu. Sungguh, dia tidak pernah merasa seperti itu. Ia hanya menghindari Arka karena, yah, rasa malunya saja. Irene bingung harus dengan kata apa ia bisa menjelaskan pada Arka. Saat ini ia benar- benar bingung. Hingga sekelumit percakapan dengan Mamanya hari itu kembali terngiang di kepalanya.
"Kenapa? Kamu.. nggak trauma gara-gara perceraian Mama sama Papa, kan?"
"Ma, kan Mama sendiri yang selalu ngingetin Irene kalau nggak semua laki-laki itu sama. Irene emang agak sangsi sih, Ma. Tapi Irene lebih percaya Mama."
"Terus kenapa Irene milih menghindar?"
"Irene malu, Ma. Nanti kalo tiba-tiba Irene salah tingkah di depan Arka kan malu-maluin."
"Oh, namanya Arka toh. Cakep tuh pasti. Saingan kamu banyak ya? Kalo nggak buru-buru bilang nanti keselip, loh!"
"Ish, Mama mah!"
"Bercanda, ah. Lagipula, buat menyembunyikan ataupun mengungkapkan, Mama tau Irene udah cukup dewasa untuk menentukan pilihan sendiri. Mengungkapkan perasaan nggak salah, kok. Irene tau yang terbaik buat diri Irene sendiri. Tapi ingat, rasa suka yang Irene punya belum tentu sama dengan cinta. Irene nggak boleh buru-buru mengartikan itu cinta dan jatuh terlalu dalam. Juga, Irene nggak boleh minta Arka buat balas perasaan Irene. Perasaan kan bukan hal yang bisa orang lain atur. Iya kan? Tapi Mama minta satu hal ke Irene, jangan pernah ragu sama kekuatan cinta. Mama bisa kuat dan besarin Irene sampai saat ini itu karena cinta Mama buat Irene. Jadi, jangan nutup hati ya, Ren."
"Iya, Ma. Irene sayang Mama."
"Ren?"
Panggilan Arka mengembalikan Irene pada kenyataan. Ia melirik ke arah Arka sebelum menentukan pilihannya, dengan nasihat Mamanya yang banyak ikut andil.
"Ka. Gue suka sama lo. Itu masalahnya. Masalah gue-dan bukan kita-adalah perasaan suka gue. Itu alasan gue ngehindarin lo."
Mengabaikan Arka yang terdiam dengan mata membulat tak percaya, Irene memilih melangkah pergi. Ia merasa cukup lega telah mengungkapkan perasaannya. Ia juga merasa bahwa sepertinya rasa malu mengenai perasaanya banyak hilang setelah pengungkapannya tadi. Sebelum Arka bertanya lebih banyak Irene harus segera pergi. Namun baru beberapa anak tangga dilaluinya, Irene kembali berbalik. Ada hal yang masih harus ia luruskan.
"Ah, ya. Gue barusan bukan nembak lo atau hal semacemnya dan nggak meminta lo membalas perasaan gue. Gue cuma mau meluruskan anggapan lo tentang masalah yang lo kira ada diantara kita. Jadi gue rasa, kita nggak ada urusan lagi kan?"
--
a.n.
hai teman pembaca!
gimana bab ini? aku deg-degan plus excited sewaktu menulis bagian ini. semoga nggak terlalu mendrama, ya. terima kasih sudah mambaca sejauh ini!
aku juga menerima kritik dan saran, jadi jangan sungkan mengingatkanku, ya!
sampai jumpa di bab selanjutnya!
-ara
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day [ ✓ ]
Short Story[COMPLETE] Cyrus, does the sun love the moon as much as the moon did? could you tell me, one day? -Lunetta. - a song fiction inspired by "One Day -Tate McRae" ©brunchsupper//2018 photo creds: pinterest, from its creator start: 29 April 2018 end: 30...