Jatuh cinta adalah suatu proses. Begitu kata Oma gue. Beliau bilang, love at first sight itu sangat kecil kemungkinannya buat terjadi di kehidupan nyata. Buat beliau, rasa suka yang timbul saat pertama kali kita bertemu seseorang bukanlah rasa cinta. Rasa cinta tidak seremeh itu. That's just too-good-first impression, imbuh beliau waktu gue tanya kenapa.
Nggak, Oma gue enggak semasih-muda itu buat bahas something yang kedengeran bucin gitu sama gue. Itu wejangan dari Oma agar gue nggak mudah menaruh hati ke cowok. Oma harus tetap mengingatkan gue, dan gue harus selalu mendengarkan. Oma nggak lagi punya hati kalau dia suatu saat akan melihat keturunannya mengalami hal yang sama.
Dan, nggak. Kisah itu bukan tentang Oma gue karena bahkan sampai saat ini Oma sama Opa gue masih terlihat adem-ayem. Kisah ini tentang Mama gue. Mama adalah seorang single parent sejak delapan tahun yang lalu. Yap. Orang tua gue bercerai. Mungkin delapan tahun merupakan waktu yang cukup lama agar setidaknya gue bisa menerima perceraian itu. Andaikan mereka berpisah dengan baik-baik.
"Ren, belum tidur?" Tanya Mama yang entah kapan masuk ke kamar gue. Beliau duduk di sisi ranjang gue sambil mengelus pelan ubun-ubun gue. Kebiasaan Mama yang sepertinya nggak akan pernah hilang.
"Belum, Ma. Irene belum ngantuk," jawab gue sambil menegakkan badan. Gue minta Mama untuk ikut duduk di atas ranjang.
"Kenapa? Mau cerita?" Kini Mama bersandar di kepala ranjang dan gue menyandarkan kepala gue ke lengan Mama, mencari posisi ternyaman.
"Ma, Irene lagi suka sama cowok," ucap gue memulai cerita.
Mama tersenyum kecil tanpa melepas pandangannya dari wajah gue, mungkin mencoba mengamati ekspresi gue. "Terus? Udah pedekatenya? Masa sih, anak Mama cantik gini ditolak?"
"Ish, Mama! Irene malah ngehindarin dia, tau!"
--
Hari ini Irene sedikit terlambat untuk menonton latihan tim sepak bola. Ia harus menyelesaikan beberapa urusannya terlebih dahulu di ruang ekskul karena tidak lama lagi ekskulnya akan mengadakan pameran. Dengan buku sketsa yang sedari tadi masih dibawanya, Irene menaiki tangga Gedung B yang sudah sepi seperti biasa. Sesampainya di lantai dua, Irene mendapati kelas-kelas itu kosong. Tidak seperti biasanya yang masih akan ada tas-tas pemilik penonton latihan tim sepak bola.
Ah, iya. Tadi 'kan pulangnya awal ada rapat guru, batin Irene sambil mencari posisi untuk menonton Arka dengan jelas.
Belum sampai 10 menit Irene menonton, latihan tersebut sudah usai. Irene yang sedang malas turun lagi memilih untuk duduk dulu di bangku koridor. Lagipula, sepertinya kelas-kelas sudah kosong dan kecil kemungkinan untuk orang-orang keheranan melihatnya berada disana. Setelah duduk dan membuka ponselnya, Irene mendengar masih ada suara orang yang sedang berlatih. Penasaran, Irene kembali berdiri untuk mengamati. Ternyata itu Arka. Arka berlatih solo di lapangan adalah satu hal yang jarang Irene lihat. Laki-laki itu terbiasa langsung pulang setelah latihan selesai.
"Arka kok makin keren, sih?" Gumam Irene pelan sambil iseng menggambar sketsa kasar Arka.
Irene asyik mengamati sambil menggambar sampai tiba-tiba seseorang menegurnya, "Irene?"
Irene terkesiap dan langsung menutup buku sketsanya. Ia memandangi orang bernama Marcell itu, yang juga teman satu ekskulnya, sebelum berkata "Ya?"
"Lo nungguin buat nyamperin gue? Kan gue udah bilang kalo contoh proposalnya gue kasih besok," tanya Marcell sambil tersenyum geli.
Irene sempat kebingungan sebelum akhirnya mengiyakan saja pertanyaan Marcell. Daripada ribet.
"Lo bikin sketsa apa lagi, sih? Bukannya lukisan lo udah jadi, ya?"
"Ah, itu, gue lagi.. Gambarin.. ng, pohon rindang yang deket lapangan! Ah! I-iya, pohon yang itu," jawab Irene sedikit kelabakan, takut kalau Marcell ingin melihat sketsanya.
"Perspektifnya dari atas? Keren juga lo! Kalo gini kalah mulu deh, gue dari lo. Udah selesai, kan? Mau turun bareng?"
"Nggak usah, lo duluan aja. Gue mau benerin dikit lagi." Irene menutup kebohongannya dengan kekehan. Setelah Marcell benar-benar pergi, Irene langsung bernapas lega.
Fyuh, abis gue kalo ketahuan! Mana sama si Marcell mulutnya ember lagi! Walaupun Marcell ganteng dan kelihatan cool, cowok itu tidak pernah absen membagikan gosip dan rumor terbaru setiap perkumpulan ekskul lukis. Irene harus berhati-hati.
Irene melirik ke lapangan, Arka sudah tidak lagi disana. Ia mendesah lesu sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang saja. Sayangnya, ia lupa kalau ia bisa saja bertemu Arka yang hampir semingguan ini dihindarinya di tangga mengingat kelas cowok itu ada di lantai atas.
Iya, entah angin dari mana, sejak semingguan ini Arka seakan menyadari keberadaannya. Mereka beberapa kali berpapasan. Dan di setiap papasan itu akan ada Arka yang mencoba memanggilnya dan Irene yang berjalan cepat seolah tengah terburu-buru dan mengabaikan panggilan Arka atau bertingkah seolah ia tidak tahu bahwa Arka tengah memanggilnya.
Irene tidak langsung merasa wah ketika Arka mulai mencoba menyapanya hari Senin lalu. Ia bahkan benar-benar tidak menyadari bahwa yang mencoba menyapanya adalah Arka. Namun di hari Selasa setelahnya, Irene tidak sengaja mendengar obrolan Arka dan temannya yang Irene ketahui bernama Sekala di kantin. Irene tidak mendengar banyak, dari yang ia dengar ia mengerti bahwa Arka sedang penasaran padanya dan akan mencoba menyapanya.
Tentu saja itu kabar buruk bagi Irene. Selama ini dia berusaha menyembunyikan perasaannya serapi mungkin. Dan tiba-tiba Arka ingin mencoba menyapanya. Irene tidak langsung berharap banyak. Yang ia lakukan semingguan ini adalah caranya agar pertahanannya tidak runtuh. Salah tingkah di depan orang yang disukai adalah hal yang sangat memalukan, setidaknya begitu menurut Irene. Ia harus menghindari Arka sebisa mungkin.
Sayangnya, kali ini mereka bukan hanya berpapasan. Mereka kini saling berhadapan dengan jarak dua anak tangga.
"Permisi?"
Irene kehilangan kata-kata dan keberaniannya. What a crap!
--
a.n.
hai, teman pembaca!
nggak terasa ternyata sudah hampir sebulan sejak aku memublikasikan bab sebelumnya. sepertinya tulisanku agak berubah. jadi, aku minta maaf ya kalau bab kali ini agak aneh. aku sudah mencoba memperbaiki yang sekiranya aneh. ingatkan aku kalau masih ada hal ganjil.
terima kasih sudah membaca sampai sini walaupun jadwal updateku sangat berantakan.
sampai jumpa di bab selanjutnya!
-ara
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day [ ✓ ]
Short Story[COMPLETE] Cyrus, does the sun love the moon as much as the moon did? could you tell me, one day? -Lunetta. - a song fiction inspired by "One Day -Tate McRae" ©brunchsupper//2018 photo creds: pinterest, from its creator start: 29 April 2018 end: 30...