"Hai, Ren!" Sapa Arka yang tentu saja mengejutkan Irene. Laki-laki itu tiba-tiba masuk ke ruang ekskul lukis dengan Irene yang masih dalam keadaan memandangi lukisannya.
Irene segera bangkit dari kursinya untuk membalas sapaan Arka. "Hai juga, Ka. Ada apa?"
Waktu empat bulan sejak keputusan keduanya untuk menjadi teman cukup mengubah banyak hal diantara mereka. Rasa canggung itu perlahan hilang tak bersisa. Bahkan kini Irene tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi untuk menonton Arka berlatih. Begitupun Arka yang dengan tidak tahu malunya keluar masuk ruang ekskul lukis sesuka hatinya jika Irene tengah berada disana.
"Mau makan," canda Arka, "ya mau nyamperin elo, lah!"
Irene berdecak sambil merapikan lukisannya yang hendak ia simpan kembali. "Maksud gue, lo ngapain nyamperin gue? Ada perlu apa, gitu?"
"Uhm, nggak tau juga sih, kenapanya," jawab Arka yang membuat Irene makin sewot.
"Dih, nggak jelas lo."
"Ya biarin, sih. Eh, liat dulu dong, itu lukisan lo!" Arka menahan tangan Irene yang hendak menumpukkan lukisannya dengan lukisan lain.
Irene menghentikan pergerakannya. Ia memasang kembali kanvas lukisannya pada easel. "Gimana? Bagus, kan? Lukisan gue dipajang di pigura utama the three greatest loh waktu pekan seni!" ujar Irene bangga.
Tak ada balasan dari Arka. Laki-laki itu mengamati lukisan Irene dengan sungguh-sungguh. Arka yang tidak biasanya tertarik terhadap lukisan manapun-termasuk lukisan Irene yang lain-tiba-tiba menjadi seserius ini mengamati lukisan bocah berbaju kuning yang terlelap dalam dekapan bulan milik Irene.
"Lo kenapa deh, Ka?" Tanya Irene heran.
"Hm? Gue lagi menganalisa makna lukisan lo," jawab Arka sekenanya tanpa melepaskan keseriusannya.
Irene memukul bahu Arka pelan. "Bahasa lo gaya banget deh, Ka. Sok-sokan menganalisa segala. Tanya gue aja napa? Kan gue yang bikin, sih."
"Oh iya. Duh, gue mendadak bego. Ya udah, ceritain!"
Irene menjelaskan bahwa bocah laki-laki berbaju kuning terang dan seolah bersinar itu adalah perumpamaan matahari. Matahari dan bulan tidak bisa berada di satu langit yang sama. Karena itu saat bulan muncul, matahari sudah terlelap. Irene juga menganalogikan bahwa bulan itu adalah seorang perempuan yang hanya bisa diam-diam mencintai laki-laki yang sudah terlelap dalam dekapannya. Lalu, saat laki-laki alias matahari itu terbangun, sudah pasti bulan sudah hilang.
And one day, he'll look into her eyes
Irene menjelaskannya dengan riang tanpa sadar bahwa sedari tadi Arka menatapnya. Hal itu membuat senyum usil terbit di wajah Arka.
"Kayaknya gue ngerti deh analogi lo yang terakhir," ucap Arka.
"Hah?"
"Itu yang kata lo si bulannya itu cewek yang diem-diem suka sama cowok yang lagi tidur itu," imbuh Arka.
Irene mengernyitkan dahi, bingung. Namun saat otaknya menemukan hal yang sepertinya sudah ditebak Arka, Irene buru-buru berbicara. "Nggak usah sok tau deh, lo."
"Ih, emang gue tau, yeu!"
"Ya diem, dong! Nggak usah gituin gue!"
"Acie, yang ketahuan lagi malu..." Arka mendorong-dorong pelan bahu Irene yang memilih memalingkan wajahnya dari Arka.
Lagi-lagi Arka iseng menggoda, "Tuhkan, bener tebakan gue.."
"Diem ih, Arka!"
"Jadi bulannya itu elo, terus mataharinya itu-"
"Dieeeeeeeeeeeeem!"
"-gue!"
Irene memukul lengan Arka dengan cukup keras. Kali ini dia benar-benar kesal pada Arka yang memperjelas hal itu. Tidakkah laki-laki itu tahu kalau Irene masih sangat malu membahas hal itu? Yang Arka mungkin tidak tahu adalah perasaan itu masih ada dalam hati Irene. Ah, Arka harus diberi pelajaran!
"Ya ampun, Ren! Sakit tau!" keluh Arka sambil mengusapi lengannya yang jadi korban kekerasan Irene.
"Elo, sih!" Irene makin kesal dan memukul lagi lengan Arka.
"Ampun, Ren! Udah, duh!" Racau Arka saat Irene semakin keras memukul lengannya. Walaupun tidak seberapa tapi kalau Irene terus memukulnya seperti itu lengannya bisa saja memerah. Maka dari itu, Arka langsung menggenggam kedua pergelangan tangan Irene untuk mengehentikannya. Setelah Irene tampak tenang, Arka melepas genggamannya dan kembali menatap mata Irene.
Diberi tatapan seperti itu, perasaan Irene langsung kalang kabut. Jadi ia memukul lengan Arka sekali lagi untuk menyamarkan euforia hatinya.
"Eh, udah dong, Ren! Gue mau ngomong, nih!" Arka sedikit menaikkan suaranya. Sepertinya ia mulai kesal. Jadi Irene memilih diam menurut saja.
"Nah. Kalo anteng gini kan jadi makin cantik," goda Arka. Irene hanya mendesis malas. "Lo mau denger nggak analogi gue tentang matahari sama bulan?"
Irene tertarik dan menganggukan kepalanya.
"Kalo menurut elo tadi kan, bulan mencintai matahari gitu kan, ya. Nah, kalo menurut gue, perasaan matahari tuh, nggak beda sama bulan," terang Arka pelan-pelan.
"Maksud lo?"
"Ya, matahari juga cinta sama bulan." Irene manggut-manggut menanti kelanjutan penjelasan Arka. "I'll tell you a story about how the sun loved the moon so much."
"O...kay?"
"He died every night to let her breathe."
"How sweet."
And say that "You're my only light."
"And so do I."
"Duh, gue jadi nggak nangkep deh lo ngomong apa, Ka. Pake bahasa Indonesia aja, sih. Nggak usah sok bule!" Bohong. Irene jelas mengerti maksud kalimat Arka. Ia hanya tak mengerti apakah Arka saat ini sedang bercanda atau serius. Irene tidak ingin berharap lebih.
Perlahan, Arka menarik tangan Irene untuk dia genggam. "Gue suka sama lo, Ren. Perasaan lo waktu itu.. masih ada kan, buat gue?"
--
a.n.
hai teman pembacaaaaaaaaa!
ah aku mau gila rasanya nulis bab ini! deg-degan! semoga arka nggak kacangan ya! duh aku nggak tahu arka belajar begitu dari mana! kayaknya sih, gara-gara abis searching pinterest semalem!
anyway sebenernya bab ini masih panjang, banget. jadi aku bagi jadi dua bab! semoga ada yang menanti ya, huhu :'))
sampai jumpa di bab selanjutnya!
-ara
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day [ ✓ ]
Short Story[COMPLETE] Cyrus, does the sun love the moon as much as the moon did? could you tell me, one day? -Lunetta. - a song fiction inspired by "One Day -Tate McRae" ©brunchsupper//2018 photo creds: pinterest, from its creator start: 29 April 2018 end: 30...