Epilogue

84 10 17
                                    

Devan segera mengeluarkan motornya dari barisan parkir. Sebenarnya ia heran dengan Karenina yang mendadak sakit begini. Seingatnya saat mereka masih berjalan menuju tempat parkir, Karenina tidak sepucat ini.

Setelah motornya berhasil keluar, Devan menyodorkan helm untuk Karenina. Gadis itu segera menerimanya meski malah tak kunjung memakainya. Karenina hanya mengeratkan genggamannya pada tali pengikat helmnya.

"Nin, buruan dipake. Kenapa sih?" Pertanyaan Devan tak kunjung mendapat jawaban.

Ia turun kembali dari motornya dan memandangi wajah sayu teman kecilnya itu. Tak lama bisa ia lihat kedua bola mata Karenina mulai berkaca-kaca. Devan yang semakin heran memilih untuk mencengkeram bahu Karenina dan memaksa gadis itu untuk menatapnya.

"Lo kenapa sih, Nin?"

"Dev.. Sakit, Dev. Rasanya sakit banget.." isak Karenina. Air mata mulai jatuh ke pipi putih Karenina. Menyadari hal itu, Devan segera memeluk teman kesayangannya yang setahunya jarang sekali menangis di depannya.

"Astaga, Nin. Kenapa lo nggak bilang sejak awal?" Devan mengeratkan pelukannya, seolah ingin agar Karenina membagai beban dengannya.

"G-gue nggak bisa, Dev.. Tapi sekarang rasanya sakit.." Karenina semakin terisak. Ia balas memeluk Devan dan menenggelamkan wajahnya di dada Devan.

"Nin.. Seharusnya lo berhenti dari awal," dalam pelukan Devan Karenina menggeleng. "Minimal lo bilang sama gue..

..kalau lo masih suka sama Arka."

--

Iya, bener. Gue suka sama Arka. Sesuka itu sampai rasanya sesak banget tiap mengingat Arka udah jadian sama Irene, temen gue sendiri.

Gue mengenal Arka jauh sebelum Irene sekedar tahu namanya. Arka memang teman se-lesan gue di Genius. Gue bohong ke Irene kalau gue jarang ketemu Arka. Setiap les gue selalu memastikan kalau Arka hadir hari itu. Gue selalu melihat dia bercanda dengan teman-temannya. Beberapa kali bahkan gue iseng masuk ke kelas Arka karena kita berada di kelas yang berbeda.

Gue nggak mengerti kenapa rasa suka itu bisa hadir di diri gue. Yang jelas, gue nggak bisa mengantisipasi detak jantung gue yang tiba-tiba semakin cepat saat melihat cowok ramah itu. Bagaimana bisa Arka sesempurna itu? Kepribadiannya baik, ramah, gue yakin semua orang pasti mau berteman sama dia. Arka aktif di ekskul sepak bolanya, tempat dia mulai memiliki banyak fans. Gue tahu karena saat SMP tim sepak bolanya beberapa kali tanding sama tim sepak bola sekolah gue. Nilai akademisnya juga nggak buruk, standar.

Ah, gimana caranya menolak pesona Arka?

Seperti yang gue bilang ke Arka sore itu, gue dan Arka nggak pernah ngobrol sebelumnya. Karena itulah, gue memilih menyembunyikan perasaan gue. Cuma Devan yang tahu karena cowok sialan itu tanpa malu membuka diary gue saat dia main ke rumah. Tebak betapa senangnya gue saat gue tahu kalau gue diterima di sekolah yang sama dengan Arka? Gue bahkan nggak bisa menjabarkan dengan kata-kata betapa gilanya euforia itu sampai membuat gue jingkrak-jingkrak di atas kasur.

Sayang, disaat gue ingin memperjuangkan perasaan gue, Irene yang notabenenya teman SMA gue sejak MOPD ternyata juga menyukai Arka. Gue awalnya juga nggak tahu karena Irene juga memilih menyembunyikan perasaannya. Namun di suatu sore dia ke-gap oleh gue dan Devan lagi nonton Arka yang berlatih dari Gedung B. Tentu saja Irene mengelak, tapi dengan mulut cerewet Devan akhirnya mengalirlah cerita itu dari Irene.

Devan memang nggak tahu kalau gue masih menyukai Arka. Gue memang nggak pernah lagi membahas Arka sejak gue masuk SMA. Mungkin juga Devan udah lupa.

Katakanlah gue munafik karena gue bahkan suka mendorong Irene agar dia mengungkapkan perasaannya. Gue sendiri nggak tahu apa motivasi gue mengatakan hal semacem itu pada Irene meski akhirnya gue selalu merasa sesak. Tapi memang apa lagi yang bisa gue lakukan? Mengaku pada Irene? Gue nggak seberani itu. Lagipula itu hanya akan bikin hubungan gue dan Irene memburuk. Irene pasti akan merasa bersalah begitu dia tahu perasaan gue.

Fakta yang semakin membuat gue sesak adalah gue yang nggak berhenti menyukai Arka meski gue selalu meminta Irene untuk mengungkapkan perasaannya dan bahkan saat Irene sudah semakin dekat dengan Arka. Gue nggak tahu kenapa, gue hanya nggak mau.

Semua hanya bikin gue sakit dan sesak. Masokis.

"Hei, Nin! Yuk ke kantin, kemaren lo berdua minta PJ kan?" Canda Irene saat gue baru akan keluar kelas. Teman gue itu sudah berdiri disana lebih dulu dengan Arka disampingnya.

Shit. Kenapa gue makin sesak begini? Kenapa juga Arka udah nongkrongin Irene disini? Di depan mata gue?

Gue nggak tahu mau menjawab apa selain tersenyum yang pastinya terlihat aneh di mata Irene. Namun tiba-tiba seseorang menyambar pergelangan tangan gue dan menarik gue mendekat. Devan.

"Besok-besok aja, Ren. Gue mau minta Nina bantuin gue nyari buku di perpus," kata Devan yang tentunya bohong. Sementara gue nggak tahu kapan air mata gue bakal tumpah.

"Nggak biasanya lo ke perpus, Dev," ucap Irene heran. Tapi ia nggak menolak saat Arka mengajaknya untuk langsung ke kantin.

Sepeninggal couple baru itu, Devan langsung merangkul gue. "Cabut aja, yuk! Lo nggak kelihatan baik hari ini. Gue nggak yakin lo bisa nerima pelajaran dengan otak penuh Arka."

Gue belum pernah bolos sebelumnya, nggak seperti Devan. Tapi entah kenapa gue langsung menyetujui ajakan Devan. Devan bener, hari ini gue nggak bisa mikirin selain tiga pertanyaan yang sedari tadi memutari otak gue.

Apa gue harus merelakan Arka?

Apa gue bisa nunggu sampai suatu saat mereka putus?

Atau, apa gue boleh merebut Arka dari Irene?

--

a.n.

hai teman pembaca!

sampai juga di epilog! sebenernya mau di update beberapa hari lagi. tapi yaudahlah sekalian hari ini berhubung pas banget sama akhir bulan! kan awal bulan awal cerita baru, eh (?)

terima kasih semuanya yang sudah baca, vote, dan komentar!

massive thanks to y'all!

sampai jumpa di cerita lainnya!

-ara

ps. me luv yew! (biar apa aja inimah)

One Day [ ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang