Prolog

108K 5.4K 69
                                    

Amelia tidak paham dengan apa yang terjadi di Minggu pagi yang cerah itu. Dirinya baru saja turun dari kamarnya yang terletak di lantai dua, dan tahu-tahu ia disambut umpatan kasar Damar.

"Kamu benar-benar murahan, ya, Mel. Aku nggak nyangka kalau selama ini aku sudah menikahi wanita yang salah. Aku nggak nyangka kalau selama ini aku sia-sia mencintai kamu," ucap Damar. Kemarahan terpampang jelas di wajahnya. Amelia tidak segera membalas perkataan suaminya. Ia hanya bisa terpaku di pijakan tangga terakhir itu. Rasanya menyakitkan mendengar kata-kata itu keluar dari bibir lelaki yang sangat ia cintai.

Setelah menguatkan hatinya, Amelia akhirnya bersuara. "A-apa maksud kamu, Mas? Kenapa kamu berbicara seperti itu? Aku ... aku memangnya salahku apa?" Tangannya mendekap erat tubuh putranya yang masih terlelap dalam gendongannya, takut-takut kalau putranya akan terbangun dengan suara keras Damar.

Tawa Damar mendadak terlontar. Ditatapnya Amelia denga sinis. "Kamu masih bertanya apa salah kamu? Kamu bahkan nggak menyadari kesalahanmu, Mel?" Damar tertawa getir. "Aku pikir, kamu akan langsung meminta maaf. Kenapa nggak kamu jelaskan saja siapa laki-laki di foto itu?"

Amelia semakin tidak paham dengan maksud perkataan suaminya.
Mata Amelia mulai berkaca-kaca mendengar nada suara Damar yang dingin. Belum pernah Damar berbicara kepadanya dengan cara seperti itu sebelumnya.

"Kamu ngomong apa sih, Mas? Foto apa? Laki-laki yang mana?" Mata Kanaya mulai berkaca-kaca. Ibu mertuanya yang sedari tadi hanya menjadi pendengar dan duduk tenang di sofanya akhirnya bangkit. Wanita paruh baya itu lantas berjalan mendekati putranya.

"Benar firasat saya dari awal, kalau kamu memang tidak pantas untuk putra saya, ucap wanita itu. Kamu hanya anak panti, orang miskin yang sama sekali tidak pantas untuk kalangan kami. Selain miskin harta, ternyata kamu juga miskin moral. Dasar wanita murahan."

Hinaan itu sungguh melukai perasaan Amelia. Air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya merebak juga. Harga dirinya sedang diinjak-injak.Rasanya jauh lebih sakit ketika dirinya menyadari, hal itu disebabkan oleh orang-orang yang teramat dikasihinya. Amelia kehilangan kata-kata. Dia bahkan tidak bisa membalas kata-kata menyakitkan itu untuk membela diri. Tubuh Amelia seakan membeku. Kakinya sama sekali tak bisa ia gerakkan.

"Kamu ... aku sangat muak dengan wajah kamu yang sok polos itu. Aku muak dengan wajah anak itu, teriak Damar. Jadi, lebih baik kamu pergi dari rumah ini." Damar mengalihkan pandangannya dari Amelia. Amelia tampak putus asa. Ia tak sanggup melihat wajah terluka Damar yang penuh amarah. Ia tak bisa melihat Damar diam saja tanpa menjelaskan kesalahannya. Rasa putus asa itu menghancurkan Amelia.

"A-apa maksud kamu, Mas? Kenapa kamu bicara seperti itu? Bagaimana dengan anak kita?" tanya Amelia dengan suara paraunya.

Damar tidak menjawab. Matanya menatap ke sembarang arah, tak ingin memandang Amelia.

"Kamu tidak mendengar apa yang anak saya katakan? bentak mertuanya. Kamu diusir dari rumah ini, Amelia. Sebaiknya kamu kemasi barang-barang kamu dan pergi dari sini. Sebelum saya sendiri yang menyeret kamu keluar."

Amelia menggelengkan kepalanya beberapa kali, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tangisnya pecah. Amelia tak bisa menahannya lebih lama lagi. Bersamaan dengan itu, tangis bayinya yang terbangun pun terdengar.

"Mas Damar, Mas bercanda, kan?" Amelia bertanya dengan bodohnya. Wanita itu menatap penuh luka pada suaminya yang hanya diam dengan pandangan yang tertuju ke tempat lain. Amelia berharap Damar melakukan sesuatu. Ia berharap Damar menentang ucapan ibunya dan memeluknya serta putra mereka.

"Kamu sudah mendengar semuanya dari Mamaku," ucap Damar pelan. Napasnya naik turun tak beraturan. sebelum akhirnya melangkahkan kaki, pergi dari hadapan Amelia.
Senyum sinis tersungging di bibir ibu mertuanya. Wanita itu mendekati mendekati Amelia, sementara Amelia masih tersedu di tempatnya. Ia sama sekali tidak tahu apa kesalahannya hingga kenyataan menyakitkan ini menghancurkannya tiba-tiba.

"Biar saya saja yang mengemasi baju kamu," begitu ucap ibu mertuanya, yang lantas berjalan melewatinya.
Amelia menatap punggung Damar yang mulai menjauh dengan pandangan kabur, tanpa menyadari bahwa bahu laki-laki itu bergetar. Tak ada yang tahu bahwa detik itu, Damar Ardian Pramudya juga tengah menitikkan air mata.

-TBC

Untuk ArkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang