BAB 4

53.8K 4.3K 268
                                    

Malam hari, suhu tubuh Arkan meningkat. Amelia terus merasa was-was, takut jika demam putranya itu akan berlangsung lama. Dalam tidurnya, Arkan terus saja merintih. Amelia kebingungan, karena tidak tahu bagaimana harus membawa Arkan ke rumah sakit tanpa uang cukup di tangan.

Air mata Amelia tiba-tiba menetes saat bayang-bayang menyedihkan mulai menghampirinya. Hatinya seperti ditohok saat melihat tubuh kecil mungil putranya menggigil. Dengan badan bergetar, Amelia memeluk Arkan dengan erat, berusaha menyalurkan rasa hangat dari tubuhnya.

"Idin, Da," ucapnya dengan suara tersendat.

Amelia mengusap sudut mata Arkan yang berair, juga sudut matanya yang basah akibat tangis yang tak terbendung lagi.

"Bunda peluk Arkan, kok. Bunda nggak bakal biarin Arkan kedinginan," ucap Amelia dengan suara serak.

Amelia tidak tahu kenapa Arkan tiba-tiba demam. Karena sepanjang sore tadi Arkan terlihat baik-baik saja. Hal itu membuat Amelia benar-benar merasa takut.

"Idin," katanya lagi.

Giginya bergemeletuk. Amelia sudah berusaha maksimal untuk menghangatkan tubuh Arkan dengan seluruh selimut yang ia miliki.

Di rumah itu, hanya terdapat dua selimut. Dan itu sebenarnya tidak pantas disebut selimut karena hanya berupa kain tipis. Dua selimut itu sudah membalut tubuh Arkan, tapi tetap saja tidak berpengaruh. Arkan tetap saja mengeluh kedinginan.

Air mata Amelia terus menitik. Dia mulai dijalari rasa panik. Udara malam ini sangat gerah. Namun, putranya terus saja merintih kedinginan. Amelia menempelkan kompresan air dingin di kening Arkan, tapi tampaknya semua itu sia-sia saja. Suhu tubuh putranya justru semakin tinggi. Meski tidak mengukurnya dengan termometer. Amelia bisa merasakannya dari telapak tangannya.

Amelia tidak punya cara lain. Ia harusnya membawa Arkan ke dokter. Ia mengintip dompetnya. Ia bahkan tidak yakin sanggup membayar taksi.

"Arkan," bisik Amelia. Sambil mengepak pakaian ke dalam tas tenteng, Amelia memikirkan Damar dengan rumahnya yang mewah. Kalau saja Arkan tidak pernah terusir dari rumah yang nyaman itu, Arkan tidak perlu tinggal di tempat kumuh seperti ini. Kompleks yang kotor. Sumber penyakit Arkan mungkin saja berasal dari sana. Dalam hati, Amelia merutuki kemalangannya.

Andai saja, sewaktu terusir dulu ia sempat mengambil ijazah dengan gelar sarjana pendidikkannya, Amelia mungkin bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Amelia bisa melamar menjadi guru di sebuah sekolah swasta. Menjadi guru honorer pun tak masalah. Meski gaji guru honorer juga tak begitu bisa diandalkan, setidaknya menjadi guru lebih dipandang baik dibanding menjadi karyawan bawahan seperti pekerjaannya yang sekarang, office girl.

Hal-hal seperti ini malah membuat Amelia semakin mengingat Damar. Meski hubungan Amelia dan Damar tidak sebaik sebelum fitnah yang menimpanya, dulu Damar begitu perhatian terhadapnya. Kalau saja Damar sudi mencintai Arkan, tentu saat ini dia tidak akan kebingungan seorang diri.

Jujur saja, Amelia masih mencintai Damar. Meskipun lelaki itu telah menorehkan luka yang teramat dalam di hatinya. Amelia tahu ia begitu bodoh. Namun, sangat sulit menghilangkan rasa cinta itu, sekeras apa pun ia mencoba. Bahkan mengingat-ingat semua perlakuan buruk Damar tak membuat perasaannya berkurang sedikit pun. Seperti cinta Amelia, memang tercipta untuk Damar.

Amelia merasa lucu karena masih berharap bahwa suatu saat nanti mereka bisa hidup bersama, menjadi pasangan bahagia sampai ajal menjemput.

Amelia mengeratkan pelukannya pada putranya, ketika mendengar rintihan Arkan yang semakin keras. Bibirnya terlihat pucat. Meneguhkan kenekatannya, Amelia memesan ojek online yang membawanya ke rumah sakit terdekat. Soal uang, ia akan memikirkannya nanti. Yang penting, Arkan mendapat perawatan secepatnya.

Untuk ArkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang