Waktu kerjanya sudah berakhir. Amelia berkemas dan bersiap untuk pulang. Dihampirinya Arkan yang juga sudah berdiri dari duduknya, menunggu Amelia menggandeng tangannya. Amelia keluar dari pantri melewati lorong yang menghubungkan pantri dengan lobi.
Kantor sudah cukup sepi, hanya menyisakan para pramubakti serta dua satpam, yang salah satunya berjaga di depan pintu masuk lobi, dan yang satunya lagi di pos dekat gerbang masuk.
Ketika keluar dari gedung itu, Amelia disambut oleh sahabat dekatnya, Dimas, yang sudah duduk manis di atas motor matic-nya. Lelaki itu tersenyum menyambut Amelia dan Arkan.
"Ayo, aku antar pulang," kata Dimas.
Amelia tersenyum canggung, lantas menggelengkan kepalanya pelan. Sementara Arkan bersembunyi di balik tubuh ibunya, meski sebenarnya dia dan Dimas cukup dekat.
"Nggak perlu, Dim. Aku naik kendaraan umum aja, kata Amelia. "Lagi pula rumah kita berlawanan arah. Aku nggak mau repotin kamu."
Dimas langsung cemberut. "Aku nggak pernah loh, ngerasa direpotin sama kamu."
"Aku ngerasa nggak enak aja. Mungkin lain kali aku akan menerima tumpangan kamu." Amelia tersenyum.
Dimas menghela napas. Tatapan lelaki itu lantas tertuju pada Arkan.
"Arkan nggak mau Om antar pulang?"
Arkan menatap Amelia sebentar, sebelum memberi gelengan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Dimas mendesah kecewa. Kalau Arkan sudah menolak, itu artinya ia tidak punya cara lain untuk membujuk Amelia.
"Lain kali janji, ya, kamu dan Arkan bersedia aku antar pulang," katanya.
Amelia hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Ya udah, aku pulang duluan, ya, ucap Dimas akhirnya. "Arkan, Om duluan, ya."
Arkan mengangguk malu-malu.
Sesaat kemudian motor Dimas melaju dan akhirnya menghilang dari hadapan Amelia dan Arkan.
Amelia tersenyum, menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum akhirnya menapaki tangga dan mulai berjalan meninggalkan area kantor.
Amelia tidak tahu saja, bahwa sejak tadi, di balik pintu lobi ada Damar yang terus memperhatikan dan mencuri dengar perbincangannya dengan Dimas.
***
Tangan Damar tampak mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Wajahnya memerah menahan amarah, hatinya serasa panas menyaksikan kedekatan Amelia dengan laki-laki lain. Harusnya Amelia tidak boleh dekat dengan laki-laki mana pun.
Sepertinya Damar harus membuat perhitungan untuk lelaki yang berani mendekati miliknya.
Tunggu!
Miliknya?
Damar merasa lucu dengan itu. Kenapa ia bisa berpikir bahwa Amelia adalah miliknya, setelah apa yang sudah dilakukannya terhadap wanita itu. Setelah apa yang wanita itu lakukan terhadapnya. Harusnya ia tetap membencinya, kan? Mungkin ia hanya tidak suka Amelia bahagia. Tapi jika benar begitu, mengapa ia merasa sakit hati melihat ekspresi terluka wanita itu ketika ia memperlakukannya dengan kasar?
Apa pun itu, ia tidak suka dan tidak akan membiarkan ada laki-laki yang mendekati Amelia Salsabila.
***
Pikiran Amelia masih belum beranjak dari pertemuannya dengan Damar pagi ini. Amelia tidak menyangka, jika laki-laki yang pernah ia anggap sebagai lelaki terbaik di dunia tega menyebut putranya sendiri sebagai anak haram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Arkan
RomanceAmelia Salsabila hanya mengerti bahwa mencintai Damar Ardian Pramudya adalah hal termenyakitakan yang pernah ia tahu. Terlebih ketika Damar melontarkan caci-maki padanya juga pada Arkan, yang notabenenya putra kandung laki-laki itu sendiri untuk ala...