BAB 5

54K 4.2K 218
                                    

Halo, maaf baru update lagi, dua hari ini saya sedikit chaos sama real life. Selamat membaca dan semoga suka 😊

Tinggalkan komentar, baik kritik dan saran untuk saya. Terima kasih banyak ^^

***

Amelia mendesah lega tatkala melihat kondisi Arkan yang semakin membaik. Kemarin, setelah mendapatkan perawatan yang tepat, Arkan akhirnya dipindahkan ke ruangan perawatan.

Amelia mengalihkan perhatiannya pada pergelangan tangan Arkan. Ia sempat khawatir Arkan akan menangis kesakitan saat jarum itu merobek pembuluh venanya. Tetapi Arkan bahkan tidak menunjukkan raut kesakitan sama sekali.

Amelia melirik jam yang menempel di dinding bercat cokelat di ruang perawatan Arkan. Sudah pukul setengah satu siang. Azan sudah berkumandang sejak tiga puluh menit yang lalu. Amelia teringat, sejak kemarin dirinya hanya mandi sekali, itu pun saat ia pulang mengambil kartu BPJS-nya yang tertinggal di rumah. Bagaimana ia harus salat Zuhur dalam keadaan belum mandi?  Tetapi ia tetap bersiap menuju musala.

Seolah membaca gelagat Amelia, Arkan pun berkata, "Da, Atan uda eyum ecensi te Allah." (Bunda, Arkan juga belum presensi ke Allah)

Amelia tersenyum mendengar kalimat Arkan. Wajah Arkan yang pucat tampak tersenyum malu, gaya khasnya setiap kali selesai berbicara.

"Arkan nggak apa-apa nggak absen ke Allah," ucap Amelia lembut. “Arkan ‘kan lagi sakit dan Arkan kan masih kecil, jadi Allah bakal kasih izin Arkan buat libur sebentar." Amelia seraya mengusap surai hitamnya.

"Api lo Allah nayah ne Atan na? Lo Allah dak acih ejeti te Atan na?" (Tapi kalau Allah nanya ke Arkan gimana? Kalau Allah nggak kasih rezeki ke Arkan gimana?)

"Allah nggak bakal marah sama Arkan. Kan Allah sendiri yang kasih izin. Nanti, kalau Arkan udah baikan, Arkan boleh salat lagi. Allah akan tetep kasih Arkan rezeki. Sakit ini juga rezeki dari Allah. Arkan dikasih rezeki berupa sakit supaya Arkan banyak bersyukur," jelas Amelia.

Arkan pun tersipu dan mengangguk-angguk.

"Ya Da, api Da yum ecensi te Allah. Da tan, dak atit." (Ya, Bunda. Tapi Bunda belum presensi ke Allah. Bunda kan nggak sakit)

"Iya, Bunda kan nggak sakit, ya. Harusnya Bunda udah harus presensi ke Allah, nih."

Amelia menekankan telapak tangan ke kening Arkan, memeriksa suhu tubuh putranya.

“Emangnya Arkan nggak apa-apa kalau Bunda tinggal sendirian?"

"Dak," jawab anak itu singkat.

"Beneran?"

"Enel, Atan tan ani." (Bener, Arkan kan pemberani) Arkan kembali tersenyum malu-malu.

"Eh iya, anak Bunda kan pemberani," Amelia terkekeh seraya mengecup gemas pipi Arkan penuh kelegaan.

"Ya udah, Bunda tinggal presensi ke Allah dulu, ya. Arkan kalau perlu apa-apa, pencet tombol di belakang Arkan itu, ya, Nak. Nanti ada suster yang bakal datang bantuin Arkan. Oke?"

Arkan mengangguk dengan senyum di bibirnya. Amelia mengecup pipi Arkan untuk ke sekian kalinya sebelum akhirnya bergegas menuju musala.

***

Setelah hampir sepuluh menit berjalan mengitari koridor rumah sakit, Amelia tak kunjung menemukan letak musala. Padahal ia sudah bertanya kepada salah seorang perawat. Karena mulai kelelahan, Amelia memilih menepi dan menyandarkan tubuh ke tembok sebuah bangunan yang menurut dugaan Amelia, adalah bagian dari ruang kantor tetapi berukuran lebih kecil. Menghela napas pelan, ia lantas memandang ke sekeliling.

"Musalanya ada di mana, sih? Kayaknya dari tadi aku udah muter-muter, tapi nggak ketemu juga," gumamnya kesal.

Amelia memutuskan menunggu sampai ada seseorang yang lewat untuk menanyakan letak musala sekali lagi.

"Selamat siang, Bu, Permisi." Sebuah suara bariton datang dari arah belakangnya membuat Amelia tersentak. Buru-buru Amelia menegakkan badan. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang dokter sedang menatapnya sambil tersenyum ramah.

"Eh, Dokter Ghandi. Maaf, Dok. Saya menghalangi jalan, ya? Dokter mau masuk?"

Amelia pun menggeser langkah. Rupanya sejak tadi ia bersandar tepat di sisi sebuah pintu.

Ghandi adalah dokter yang menangani Arkan. Ia selalu tersenyum ramah dan bersikap sopan terhadap siapa pun. Bahkan tukang parkir rumah sakit. Itulah satu-satunya hal yang diketahui Amelia dari pengalamannya mengamati Dokter Ghandi secara tidak sengaja selama Arkan dirawat di rumah sakit itu.

Sebagai spesialis penyakit anak, Dokter Ghandi sangat mudah memenangkan hati anak-anak. Termasuk Arkan, tentu saja. Di luar jam kerja, beberapa kali Ghandi menyempatkan waktunya untuk menjenguk Arkan. Amelia penasaran, apa Dokter Ghandi punya begitu banyak waktu luang untuk menjenguk semua pasien anak yang dirawat di rumah sakit itu?

"Iya, nggak apa-apa. Saya mau salat. Udah jam segini," katanya dengan sopan.

Amelia kembali dibuat terkejut. "Lah, musalanya emangnya di mana, Dok? Dari tadi saya nyari, kok nggak ketemu-ketemu. Sejujurnya, saya juga belum salat ini. Saya udah ninggalin Arkan sekitar lima belas menit."

Dokter Ghandi tampak menahan senyum. Lalu, dengan jari telunjuknya, ia menujuk ke atas kepala Amelia, membuat wanita itu seketika mengarahkan tatapannya mengikuti arah telunjuk Dokter Ghandi. Amelia meringis melihat papan kecil bertuliskan "Musala".

Kenapa dari tadi aku nggak ngeliat papan nama itu, ya?

Sembari tertawa canggung, Amelia berkata, "Eh, ternyata di sini, ya. Tadi kok nggak kelihatan, ya?"

Ghandi tersenyum geli.

Setelah mengambil wudu ke bilik yang ditunjukkan Dokter Ghandi, Amelia bersiap salat. Ia terkejut mendapati Dokter Ghandi berdiri menunggunya.

"Saya pikir Dokter sudah duluan."

"Saya nunggu Bu Amelia. Salat berjemaah lebih baik daripada salat sendirian," jawabnya.

Rambut Dokter Ghandi terlihat berantakan, tapi anehnya, justru terlihat memesona.

"Ayo, nggak usah canggung," kata Dokter Ghandi, seolah membaca apa isi kepala Amelia.

Niat Amelia memang tidak ingin canggung, tapi sikap dan perkataan dokter itu malah membuat Amelia semakin canggung.

"Tapi Dok, setahu saya kalau bukan muhrim, baiknya salat sendiri-sendiri," kata Amelia teringat oleh ceramah ustazah yang didengarnya beberapa bulan lalu.

"Loh, eh iya, saya lupa." Ghandi seketika tersenyum canggung, wajahnya tampak memerah, bahkan semburat merah itu sampai ke lehernya, tampak sekali bahwa pria itu tengah merasa malu.

"Tidak apa-apa, Dok."

"Ya ... ya sudah, kita salat sendiri-sendiri saja." Pria itu buru-buru menghela langkahnya menjauhi Amelia setelah kalimat tersebut terucap. Dan Amelia hanya bisa membalasnya dengan senyum canggung. Suasananya benar-benar awkward.

Mengabaikan atmosfir canggung yang tercipta di antara mereka, Amelia lantas meraih mukena dari lemari penyimpanan dan mengenakannya dengan tergesa-gesa. Wanita itu lantas mengambil posisi dan segera melaksanakan ibadahnya.

Ketika Amelia menyelesaikan zikirnya, Dokter Ghandi juga baru saja berdiri dari duduknya.

"Terima kasih, Dok," ucap Amelia.

"Untuk apa?"

"Untuk Dokter yang menunggu saya tadi dan untuk tawaran pahala 27 kali lipatnya walau akhirnya tidak jadi," balas Amelia.

Dokter Ghandi membalasnya dengan tawa kecil.

Setelah mengembalikan mukena ke lemari penyimpanan, Amelia berpamitan pada Dokter Ghandi. Ketika menoleh untuk kali terakhir, Amelia tidak menyangka akan mendapati dokter itu masih menatapnya.

Dengan canggung, Amelia tersenyum sekali lagi dan Dokter Ghandi membalasnya dengan lambaian. Setengah berlari, Amelia kembali ke kamar perawatan Arkan. Hatinya terasa menghangat mengingat apa yang baru saja dialaminya.

―TBC

Untuk ArkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang