"Arkan, nanti jangan nakal, ya. Jangan ke mana-mana, tetap di sini, oke? Nanti, Bunda akan selalu nengokin Arkan," ucap Amelia seraya memandang Arkan yang tengah duduk di kursi kecil tepat di pojok ruangan pantri berukuran lima kali enam meter itu.
Arkan duduk tepat di sebelah meja yang digunakan untuk meletakkan dispenser dan juga rice cooker. Arkan yang tengah asyik memainkan origami dari kertas bekas lantas tersenyum sambil menganggukkan kepala. Hati Amelia teriris tatkala mengelus puncak kepala putranya. Anak itulah satu-satunya hal paling berharga yang dimilikinya saat ini. Jauh lebih berharga daripada dirinya sendiri. Arkan adalah harta Amelia satu-satunya.
Amelia berjongkok untuk mengecup kening, pipi, dan hidung Arkan.
Sebelum Amelia menegakkan tubuhnya kembali, Arkan menarik wajah Amelia dengan lembut dan mendaratkan bibir mungilnya di pipi Amelia.
"Bunda sayang Arkan. Sayang banget," bisik Amelia.
"Ayan Da anet," balas Arkan.
Hati Amelia seketika dilingkupi hangat dan haru bersamaan. Bagaimana bisa dia memiliki putra semanis ini? pikir Amelia. Sebelum ia benar-benar menitikkan air mata, Amelia menegakkan tubuh dan berlalu dari hadapan Arkan untuk membuat secangkir kopi. Sewaktu hendak mengantar Arkan ke pantri beberapa saat lalu, Amelia bertemu dengan Nanda, yang mengingatkannya untuk mengantarkan kopi ke ruang direktur.
Amelia menghela napas berat. Membuat dan mengantar kopi pagi untuk pimpinan memang tugas rutinnya, tapi tugas yang satu ini selalu dikerjakannya dengan setengah hati. Mengantar kopi berarti menyediakan telinganya untuk serentetan makian yang tidak layak ditujukan pada manusia mana pun.
"Opi?" tanya Arkan dengan suara lirihnya yang menggemaskan.
"Iya, sayang. Ini kopi," balas Amelia.
"Da num opi?"
Amelia menggeleng pelan sambil menunduk untuk menatap Arkan.
"Bukan, Sayang. Bunda nggak minum kopi. Kopinya untuk bosnya Bunda."
Amelia menatap Arkan dengan cemas. Seandainya saja Arkan tahu untuk siapa kopi itu akan ia suguhkan, akankah Arkan senang atau justru sedih seperti dirinya?
Setelah melambaikan tangan dan mengecup puncak kepala Arkan sekali lagi, Amelia bergegas menuju ruang direktur. Langkahnya tergesa tetapi ragu. Dia sudah menyusun dialog yang sekiranya akan dilontarkan direktur kepadanya.
Amelia mendapati Laras, sang sekretaris yang tampak asyik dengan tumpukan pekerjaan tanpa memedulikan orang di sekitarnya.
"Mbak Laras," panggil Amelia.
Wanita yang seumuran dengan Amelia itu langsung mendongakkan kepala dan menatap Amelia. Seulas senyum menghiasi paras ayunya.
"Langsung masuk aja, tadi saya udah diwanti-wanti Pak Bos. Dia pengin dapetin kopinya sesegera mungkin," kata Laras.
Amelia mengangguk seraya berjalan lesu menuju pintu ruang direktur. Diketuknya pintu kokoh di depannya. Sebuah suara terdengar dari dalam. Dengan pelan didorongnya knop pintu itu, lalu menyembulka kepalanya ke dalam ruangan.
"Pak, saya bawa kopi untuk Bapak," kata Amelia, sesantun mungkin.
"Masuk!" sahutnya, dingin.
Amelia menutup pintu dan berjalan mendekati meja. Hampir setiap pagi Amelia memasuki ruang besar dengan nuansa hitam itu, tetapi kesan yang ditimbulkannya untuk Amelia selalu sama. Mengintimidasi.
Sofa hitam di salah satu sisi ruangan seharusnya terlihat sangat nyaman, tapi entah mengapa Amelia merasa seolah benda itu akan menerkamnya.
Ruangan itu terasa sejuk, tapi Amelia merasa menggigil, seperti lukisan-lukisan klasik yang menggantung di dindingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Arkan
RomanceAmelia Salsabila hanya mengerti bahwa mencintai Damar Ardian Pramudya adalah hal termenyakitakan yang pernah ia tahu. Terlebih ketika Damar melontarkan caci-maki padanya juga pada Arkan, yang notabenenya putra kandung laki-laki itu sendiri untuk ala...