Aku tak menghiraukan dengungan yang sejak tadi mengerumuni telingaku, berusaha fokus mendengarkan kata demi kata ibu kantin yang sedang menyambut kotak tupperware berisi kue-kue yang kuserahkan beberapa saat lalu. Nyatanya, hanya sebagian yang berhasil kutangkap dengan baik, sisanya terkalahkan oleh suara-suara makhluk metafisik yang berebut memanggilku.
'Jingga?'
'Iya, Jingga! Jii...nngga!'
'Dia yang namanya kkkrrsskkk.. ngga..'
Begitulah. Terkadang suara-suara yang kudengar tak jelas dan bergemerisik seperti stasiun radio dengan frekuensi suara yang tidak stabil. Namun ada juga beberapa yang terdengar lantang dan jelas. Seperti yang satu ini, yang suaranya feminin seolah makhluk itu berjenis kelamin perempuan.
'Jingga.. Kamu mendengar kami, kan? Jangan pura-pura tuli seolah kamu anak normal. Ayo, Jingga.. kamu pasti bisa melihat kami..'
Aku benci ketika disebut bukan anak normal, tapi memang kenyataannya begitu kan. Mana ada anak normal yang dapat mendengar suara-suara dari dimensi lain begini jelasnya sepertiku. Tapi mereka salah kalau menyangka aku juga bisa melihat wujudnya, kemampuanku murni hanya sebatas mendengar, tidak lebih. Entahlah aku mampu berkomunikasi dua arah dengan mereka atau tidak, aku belum pernah mencobanya dan berniat tidak akan mencobanya. Karena sekali saja mereka tahu aku merespons, maka gangguan yang datang akan lebih hebat lagi.
"Risolesnya 30 buah, misua 10, sama tahu isi 5. Semuanya 45 buah ya."
'Jingga.. tolong kamiii..'
Kalimat ibu kantin ditimpa oleh suara rintihan meminta tolong itu sehingga aku perlu berkonsentrasi penuh hanya demi mendengar ucapan ibu kantin secara keseluruhan. Di keadaan normal, aku tak perlu sesusah payah ini untuk mencerna ucapan perempuan itu. Tapi dasar makhluk metafisik ini tak kenal kompromi, terus saja memanggil-manggilku meski bukan menggunakan nama asliku.
"I-iya, 45 buah, Bu. Semoga hari ini laris manis." Ibu kantin mengamini ucapanku kemudian menutup lemari display kaca tempatnya menaruh kue-kue tadi. Teman di sampingku yang sejak tadi setia menemani segera mengacungkan tangannya, meminta dua potong risoles dan misua untuk dibeli. Ibu kantin pun langsung melayaninya.
"Kenapa nggak bilang sih, Ra? Gue bisa kasih lo dari tadi." Aku menyenggol lengan Ratu, teman dekatku di kelas yang kini menunggu ibu kantin membungkuskan kuenya.
"Biar di sini aja, ntar gue elo kasih gratis lagi. Rugi jadi pedagang kalau dagangannya dikasih cuma-cuma melulu," Ratu menyahut, ia tidak setuju pada sikapku yang sering menggratiskannya setiap kali membeli kue pagi-pagi ketika aku baru tiba di sekolah. Meski kami berteman baik, gadis ini tidak lantas memanfaatkan situasi untuk mendapatkan sesuatu secara gratisan.
"Sekali-sekali sih, nggak apa-apa. Kan elo nggak minta, gue yang ngasih kok."
"Sori deh. Gue bukan orang susah sampai minta gratisan melulu sama elo." Ratu menerima kuenya sambil menyerahkan uang pembayaran kepada ibu kantin. Pas, tanpa kembalian. Aku cuma tertawa mendengarnya, cukup senang melihat Ratu menikmati risoles di tangannya dan memuji kue tersebut. Bikinan Bunda Dara memang selalu enak, kami di panti sudah menjamin semua masakannya.
"Ke kelas, yuk!" Ratu menggandeng lenganku setelah ia mengikat plastik tempat kuenya. Suara-suara makhluk metafisik itu masih senantiasa mengiringi kami-aku lebih tepatnya.
Sekarang telingaku tidak bisa menangkap ocehan Ratu karena suara-suara metafisik itu terlalu mendominasi. Makhluk yang tadi berbicara paling jelas kini menerangkan sesuatu kepada entah rekan sesama makhluk metafisiknya.
'Gadis ini Jingga, sesuai aura yang keluar dari tubuhnya. Berwarna jingga, kalian bisa lihat betapa menariknya dia, kan?'
Aku sudah berkali-kali mendengar, baik dari yang bersuara feminin ini atau yang lain. Di kalangan mereka, aku dipanggil Jingga dan bukan Naura. Kemungkinan tak ada yang tahu nama asliku, mereka lebih suka memanggilku Jingga karena menurut penglihatan mereka (aku menebaknya berdasarkan penjelasan makhluk metafisik bersuara feminin tadi) tubuhku memiliki aura berwarna jingga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga: The Girl with Cursed
ParanormalJingga itu... bukanlah namaku yang sebenarnya. Itu... seperti 'julukan' dari 'mereka' untukku. Aku Naura, Naura Haseena. Seorang gadis SMA yang kini memiliki kehidupan jauh dari kata normal sejak sebuah kecelakaan mengambil alih duniaku. Ditambah la...