1

29 3 20
                                    

Mataku terbuka lebar, lantas mengerjap satu-dua kali sebelum memaksakan diri untuk bangun dari pembaringan. Aku duduk menyirip di tepi ranjang sembari mengusap kening yang terasa lembab oleh butiran halus keringat. Kuhela napas secara panjang demi menentramkan deburan jantung yang sempat tak beraturan selepas disantroni mimpi buruk.

Aku mendesah, sebanyak apapun aku menelan pil tidur yang kini menjadi candu tetap saja tak mampu mengusir potongan kejadian mengerikan di masa lalu itu meski telah berlalu setahun lamanya. Kejadian berupa kecelakaan yang menewaskan Mama dan calon adikku itu lagi-lagi muncul tanpa kuinginkan di alam bawah sadar bagaikan teror tak berkesudahan. Kejadian traumatik kelas berat sebab aku mengalaminya langsung.

Berkat kejadian mengerikan itu pula, aku mendapatkan kemampuan aneh nan mengerikan yang seumur hidup tak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku berubah dari remaja SMA biasa menjadi setengah indigo yang sulit dijelaskan secara nalar, tetapi beginilah kenyataannya. Aku memiliki kemampuan yang jarang bahkan hampir tidak dipunyai remaja lain seusiaku.
Aku bisa men-

"Sudah bangun, Na? Pagi banget hari ini." Pintu kamar asrama pun terbuka, dari balik daun pintu sepotong wajah teduh yang senantiasa menebarkan senyum menyapaku. Aku pun menoleh, memberinya senyum serta anggukan kemudian melirik ke sela gorden di jendela yang belum dibuka. Cahaya di luar masih temaram, pertanda matahari belum saatnya terbit. Anak-anak lain di kamar ini pun belum ada yang bangun selain aku sendiri.

"Barusan Naura mimpi buruk lagi, Bunda," aku menjawab sejujur-jujurnya, karena pada perempuan inilah aku bisa mengatakan seluruh keluh-kesah yang kuhadapi, kecuali satu hal. Tentang kemampuan anehku.
Perempuan yang parasnya sudah tampak segar dan tak mengantuk sedikit pun meski ia bangun jauh lebih awal dariku itu berjalan menghampiri ranjangku, memberi elusan di kepalaku sambil berkata,

"Mimpi yang sama lagi, hm?"
Aku mengangguk kecil, meremas kepalan tangan secara bergantian di atas paha pertanda sedang gelisah. "Mimpi tentang kecelakaan itu lagi, Bunda."

Bunda Dara, demikian kami memanggilnya, menjatuhkan diri di sampingku, kemudian duduk dan merangkul pundakku layaknya seorang ibu menenangkan anaknya. Tindakannya itu selalu mampu membuatku merasa nyaman sehingga level kecemasan dalam diriku berkurang jauh.

"Barangkali kamu lagi kangen berat sama Mama, makanya kebawa mimpi. Nanti kita atur kapan kunjungan ke makam Mama, oke?" Bunda Dara mengutarakan sebuah usulan yang barangkali bertujuan agar aku berhenti berpikir yang tidak-tidak. Kuhargai usahanya dengan cara mengangguk setuju sampai senyuman di wajahnya semakin dalam terukir.

"Anak pintar. Sekarang kamu mandi dulu, biar gantian sama anak-anak yang lain." Perempuan itu pun berdiri dan membiarkanku turun dari ranjang. Ia berjalan menuju ranjang lain guna membangunkan penghuninya secara lemah lembut. Aku hanya memperhatikan sembari menyambar handuk dari gantungannya, bersiap pergi ke kamar mandi sebelum keduluan penghuni kamar lain.

Bunda Dara bukanlah ibu kandungku, melainkan seseorang yang mengurus kami di Panti Asuhan Harapan ini. Sejak kecelakaan mengerikan itu, aku tidak hanya mendapat kemampuan aneh tetapi juga kehilangan satu-satunya anggota keluarga yang tersisa untuk selamanya. Karena tak memiliki kerabat lain lagi, pihak rumah sakit yang merawatku pasca kecelakaan mempercayakanku ke yayasan panti asuhan agar ditampung sebagaimana mestinya.

Aku yatim-piatu, ayahku telah lama wafat ketika diri ini masih berupa bayi merah yang bisanya cuma menangis. Aku mengenal wajahnya lewat sebuah foto, belum pernah bertemu dengannya secara langsung.
Setelah mengalami kecelakaan, aku tidak lantas siuman dan sehat wal afiat macam ini. Meski sudah setahun berlalu, segalanya masih segar dalam ingatanku. Tentang bagaimana aku terbangun setelah dua bulan lamanya tak sadarkan diri-atau dalam istilah kedokteran disebut koma-kemudian terjaga di suatu ruangan asing berbau menusuk-bau karbol khas rumah sakit. Yang kulihat pertama kali memang suster berseragam berlalu lalang, namun berbeda dengan pendengaranku.

Jingga: The Girl with CursedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang