4

4 0 0
                                    

‘Kak.. Tolong.. Tolong aku..’

‘Kak.. Kakak mendengarku, kan..’

‘Kakak yang warna jingga.. tolong aku..’

Aku memelas seperti orang sakit perut, wajahku mengerucut di tengah upacara bendera hari senin, mengabaikan khidmatnya pembacaan pembukaan UUD. Suara anak kecil perempuan itu membisikiku, karena sekarang aku berada satu barisan bersama Septian dan pemuda itu berada tepat di sampingku.

Benar, kan, suara anak kecil itu terdengar di sekitar Septian, berarti pemuda tersebut ada hubungannya dengan gadis kecil tak kasat mata ini—entah apa hubungan keduanya.

'Kak, aku tahu Kakak mendengar suaraku. Hantu-hantu yang kutemui di sekolah ini bilang kalau kakak yang auranya berwarna jingga bisa mendengar suara makhluk seperti kami. Aku butuh bantuanmu, Kak..'

Tak pernah sebelumnya aku mendengar kalimat sepanjang dan sejernih ini dari makhluk metafisik. Sejauh yang pernah kualami, mereka hanya bermaksud menggoda tanpa niatan serius apapun. Tetapi anak kecil ini berbeda, ia terdengar bersungguh-sungguh, mengibakan seolah telah putus asa.

Maka, setelah berpikir secara cepat dan memutuskan dalam hitungan detik, aku membuka mulut untuk menjawab panggilannya. Ini adalah pengalaman pertama berkomunikasi dua arah bersama makhluk metafisik sejak memiliki kemampuan mendengar.

“Si-siapa?” aku mencicit, dengan bibir gemetar. Pertama, karena takut ketahuan berisik saat upacara berlangsung. Kedua, karena tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika aku merespons perkataan makhluk-makhluk ini.

‘Terima kasih, Kak, buat jawabannya. Aku Aluna, adiknya Kak Septian yang berdiri di samping Kakak..’

Lututku rasanya melemas, hampir tidak sanggup berdiri tegap lagi. Apa yang telah kuprediksikan ternyata benar. Suara anak kecil perempuan itu milik Aluna, adik Septian yang dinyatakan hilang hampir dua minggu yang lalu. Siapa sangka jiwanya yang masih berkeliaran mengikuti ke mana pun sang kakak pergi?

“I-iya. Apa sebenarnya tujuan lo ngomong ke gue?” Aku kembali menggumamkan pertanyaan, berharap tidak seorang pun menyadari tingkah lakuku karena pasti akan terlihat aneh kalau aku sedang berbicara sendiri ke udara kosong.

‘Aku butuh bantuan Kakak buat ngasih tahu Kak Tian tentang aku..’

Sepasang mataku terbuka, tidurku telah usai. Mimpiku tentang komunikasi pertama bersama Aluna di sekolah hari senin itu berakhir. Sepertinya aku terlalu memikirkan masalah ini, selama beberapa hari aku memimpikan percakapan itu secara berulang-ulang. Sepertinya aku harus menemukan cara untuk bicara ke Septian tentang adiknya.

Aku tidak mungkin datang secara tiba-tiba kemudian mengatakan, aku telah mendengar adiknya yang tak kasat mata bicara padaku. Pemuda itu pasti akan menganggapku sedang bercanda, atau lebih parahnya menyangka aku sudah tidak waras. Pokoknya aku harus cari cara agar Septian bisa mempercayaiku, dengan konsekuensi dia bakal mengetahui kemampuan mendengarku.

Bruk!

“Aduh!”

Aku menoleh dan bangun dari pembaringan ketika mendengar suara terjatuh disertai jerit kesakitan itu. Tampak bocah perempuan berambut pendek terduduk di lantai kayu dengan posisi tidak wajar dan piyama berantakan. Ia mengelus bokongnya sambil terus mengaduh pelan.

Aku segera turun dari ranjang dan menghampirinya. “Kamu nggak apa-apa, Yaya? Kok bisa jatuh sih? Nggak hati-hati nih turunnya.”

“Si Yaya kan emang gitu, Kak. Selalu buru-buru nurunin tangga ranjang.” Teman di ranjang bawahnya menimpali sambil terkikik. Yaya mendengus pendek namun tidak membantah perkataan itu. Semua kamar di panti asuhan ini memang memiliki ranjang bertingkat yang masing-masing digunakan oleh dua orang. Kalau ranjang di atasku, belum dihuni siapa pun yang akhirnya membuatku jadi anak paling tua di kamar ini.

Jingga: The Girl with CursedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang