3

20 3 0
                                    

Aku membasahi wajah dengan air dari keran di wastafel toilet sekolah sambil menatap pantulan diriku di cermin besar, melihat lingkaran hitam yang samar terlukis di bawah mataku. Meski menelan obat tidur seperti biasanya, semalam aku terbangun pukul dua pagi karena terdesak panggilan alam sehingga ketika hendak kembali tidur, telinga ini terlanjur mendengar suara-suara makhluk metafisik yang sungguh berisik. Akibatnya, aku terjaga hingga pagi dan berangkat sekolah dalam kondisi tidak sebugar biasanya.

Sekarang saja, walau sudah masuk jam istirahat terakhir, aku masih merasakan kantuk yang teramat sangat. Bahkan air dingin hampir tak mampu menyegarkanku. Beberapa murid yang kebetulan berada di toilet bersamaku saat ini melirik prihatin, karena aku berkali-kali menggosok mataku dengan tangan yang sengaja dibasahi.

'Meski dia kelihatan loyo, warna jingganya tetap terang. Tetap cantik..'

Aku tahu siapa yang mengatakan hal itu. Siapa lagi kalau bukan makhluk metafisik yang entah seperti apa bentuknya. Suara-suara itu menggema di sekitarku, sehingga menyulitkanku untuk mendengar percakapan dua orang murid perempuan yang masih bercermin di sebelahku.

'Mana, mana? Aku belum lihat..'

'Itu, yang bercermin dengan wajah basah..'

'Gadis berambut kkkhhkk hitam ksskkk itu..'

Semakin lama semakin ribut dan banyak suara lain bermunculan, sepertinya makhluk-makhluk itu sedang berkerumun memperhatikanku. Tak sedikit yang suaranya tidak jelas, hanya berupa gemerisik atau geraman tertahan. Telingaku tidak mendengar apa-apa lagi selain bisik-bisik makhluk itu, sejak aku bisa mendengar hal-hal di luar nalar ini toilet adalah tempat paling berisik dan paling banyak makhluk metafisiknya. Seolah toilet adalah mabes bagi mereka.

'Hei, bisakah dia melihat kita..'

'Coba saja sentuh..'

Aku refleks menarik mundur tubuhku dari wastafel hingga beberapa langkah, pandanganku berubah ketakutan sama halnya dengan dua murid perempuan yang ternyata belum pergi juga dari sana. Keduanya terkejut melihat gerakan tiba-tibaku, dan mengernyit dalam-dalam ketika aku mulai mengangkat tangan dan menutup telinga rapat-rapat-tindakan yang sudah menjadi kebiasaanku ketika mulai putus asa ingin menghindari suara-suara makhluk metafisik.

"Dia kenapa? Aneh..." murid berambut pendek itu membisiki temannya, yang menatapku penuh prasangka.

"Nggak tau, mending kita pergi aja yuk!" Keduanya buru-buru meninggalkanku sendirian toilet dengan tatapan setengah ngeri. Aku hanya bisa menatap jerih tanpa menurunkan telapak tangan dari lubang telinga, merasa sedih karena orang-orang pasti menganggapku gadis aneh meski pun tak satu dari mereka tahu kemampuan mendengarku ini.

Hanya Ratu satu-satunya orang yang tidak merasa heran atau mempertanyakan segala tingkah anehku yang disebabkan oleh kemampuan mendengar ini. Sejak mengenalnya di hari pertama MOS, gadis itu ramah menyapa dan mengajak berteman, memperlakukanku seperti orang biasa. Kalau pun ia bertanya, maka itu adalah salah satu bentuk kecemasannya saja. Aku belum pernah memberitahunya tentang kemampuan mendengar ini, aku takut Ratu akan menjauhiku ketika mengetahui soal kemampuan mengerikanku.

Aku takut, tanpa mengetahui kebenarannya saja orang-orang seperti contohnya dua murid perempuan tadi sudah otomatis menjauhiku walau hanya menyaksikan tindakan refleksku, apalagi kalau mereka sampai tahu aku bisa mendengar suara-suara makhluk metafisik. Kemungkinan besar aku akan dikucilkan, dan tak satu pun dari orang-orang akan sudi berteman denganku. Aku tidak ingin itu terjadi!

Aku sudah cukup jauh dari toilet, perlahan menurunkan tangan dari telinga dan berusaha mengatur napas. Sejauh ini tidak ada suara-suara aneh dari makhluk-makhluk itu, artinya aku bisa sedikit lebih tenang. Koridor terbuka yang kulewati masih cukup ramai, murid-murid sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Di lapangan, ada saja yang menyempatkan diri bermain basket sekadar untuk seru-seruan meski cuaca lumayan terik.

Jingga: The Girl with CursedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang