"Apa lo bilang? Lo tau sesuatu tentang Aluna?"
Aku mengangguk menanggapi pertanyaan sarat keragu-raguan dari lisan Septian. Kami sudah berpindah tempat, dari arena freestyle ke sebuah warung terdekat dari sana. Tempat itu tidak terlalu ramai dibandingkan arena freestyle tadi. Bicara serius di arena freestyle yang dipadati orang-orang benar-benar tidak kondusif, aku heran kenapa Ratu bisa memilih tempat itu buat ketemuan.
"Lebih dari sekadar sesuatu, Kak. Gue.. gue sebenarnya bisa denger suara adik lo. Dia ngikutin lo setiap saat." Aku sendiri bingung harus memulai menjelaskan dari mana, semoga saja kalimatku mudah dimengerti oleh pemuda ini.
"Ngikutin gue setiap saat? Omongan lo nggak masuk akal. Aluna aja belum ditemukan! Lo becanda?!" Ekspresi di wajah Septian tampak bercampur baur, tidak mengerti, tidak percaya, nyaris putus asa dan lain sebagainya. Sepertinya kata-kataku barusan hanya menambah kacau pikirannya yang sudah berantakan.
Ratu ikut mendukung pernyataan Septian. Ia bertanya padaku, "Lo sebenarnya ngomong apa sih, Ra? Sumpah, gue nggak ngerti. Gue pikir waktu lo bilang tau sesuatu tentang Aluna, lo ketemu dia di suatu tempat. Tapi, tadi lo ngaku ngedenger suaranya? Maksud lo gimana sih, Ra?"
Aku menghela napas panjang. Sepertinya tidak bakal berhasil kalau aku tidak mengatakannya dari awal secara runtut, dimulai dari fakta tentang kemampuan aneh yang melatarbelakangi keterlibatanku dalam masalah ini. Setelah berkali-berkali menarik napas guna mempersiapkan diri, aku siap membagi rahasia terdalam dan terkelam yang kumiliki pada kedua orang ini.
"Kayaknya gue emang harus mengatakan ini ke elo berdua. Gue nggak bohong waktu ngaku bisa denger suaranya Aluna meski fisiknya nggak ada bersama kita, karena sebenarnya gue punya kemampuan yang susah buat diterima nalar." Aku berhenti sejenak untuk melihat keduanya yang tampak terdiam dengan bola mata tertancap padaku. "Sebenarnya, gue bisa mendengar suara-suara metafisik dan berkomunikasi sama mereka."
Untuk beberapa saat hening menyelimuti kami. Meski pengunjung lain masih sibuk mengobrol di tempatnya masing-masing, atmosfer lengang seolah membungkus meja kami. Hanya meja kami, karena sekarang Ratu menatapku tanpa bisa berkata apa-apa, sementara pandangan Septian berubah nanar.
"Jangan main-main. Apa buktinya lo bisa berkomunikasi sama Aluna?" Mendadak saja nada bicaranya berubah dingin, mungkin pemuda ini mengira aku sedang membuat bahan lelucon dari masalah adiknya sehingga ia merasa tersinggung.
"Haruskah gue buktiin di sini, Kak?" Aku mulai meragukan diri sendiri, sebab sejak tadi aku tidak sekali pun mendengar suara Aluna memanggilku meski sejauh ini aku berada di dekat Septian. Jangan-jangan jiwa anak itu cuma ada di sekolah? Atau aku dikerjai hantu penunggu sekolah yang mengaku-ngaku sebagai Aluna?
Sebelum aku meragukan diriku lebih jauh, suara anak kecil itu terdengar di kuping sebelah kiri. Membisikiku kalimat, 'Kak, tolong yakinin Kak Tian kalau aku emang ada di sini. Bilang sama dia, kalau mau aku ditemukan maka dia harus percaya sama Kakak..'
"Jangan bicara omong kosong sama gue—"
Aku memotong, "Aluna bilang, dia ada di sini. Katanya, kalau elo mau dia ditemuin, maka elo harus percaya sama kata-kata gue, Kak."
Ratu tambah tercengang menatapku, kalimatku sukses membungkam lisan Septian hingga terdiam seribu bahasa. Namun sedetik kemudian pemuda itu mengibaskan tangannya, tertawa meremehkan kata-kataku. Memang sulit membuktikan kalau hanya sebatas kalimat-kalimat.
"Elo bisa aja ngarang, bahkan Ratu juga bisa berakting kayak gitu. Gue nggak percaya!" Septian menggelengkan kepala, meraih gelas minumannya dan meneguk air itu tergesa-gesa. Aku harus menemukan amunisi yang lebih ampuh. Tapi apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga: The Girl with Cursed
ParanormalJingga itu... bukanlah namaku yang sebenarnya. Itu... seperti 'julukan' dari 'mereka' untukku. Aku Naura, Naura Haseena. Seorang gadis SMA yang kini memiliki kehidupan jauh dari kata normal sejak sebuah kecelakaan mengambil alih duniaku. Ditambah la...