27. Saran dari Adel

524 67 7
                                    

Suasana di rumah sakit tampak menegangkan, Daryl dapat merasakan itu begitu ia tiba di rumah sakit. Ada orang tua Bella dan Gilang di sana. Ibunya Bella tampak menangis terisak di dalam pelukan suaminya, sementara Gilang menatap lantai dengan tatapan kosong, cowok itu tampak berada di dalam penuh tekanan.

            Namun tidak ada sedikitpun belas kasihan Daryl terhadap Gilang.

            Daryl memberhentikan langkahnya begitu sampai di depan UGD dan di depan orang tua Bella. Ayah Bella mendongak dan lagi-lagi menghadiahkan sebuah tatapan tajam pada Daryl. Walaupun sangat membuat cowok itu tidak nyaman, tetap saja Daryl harus menelannya bulat-bulat.

            Ayah Bella melepas pelukannya dari istrinya, beranjak dari kursi dan menghampiri Daryl—seseorang yang menyebabkan segala kekacauan ini bagi Ayah Bella. Daryl tak melepas pandangannya dari Ayah Bella. Ia mencoba untuk berani.

            "Gara-gara kamu, anak saya hampir mati karena mau bunuh diri!" bentak Ayah Bella membuat tubuh Daryl lemas seketika. Ucapan Bella di chat tadi siang pada Daryl ternyata benar-benar akan ia lakukan. Kali ini Daryl merasa bersalah teramat.

            "B-Bunuh diri?"

            "Kalau sampai ada apa-apa dengan Bella—"

            "Kenapa dia mau bunuh diri?"

            Ayah Bella tampak ingin memukul Daryl karena bertanya hal bodoh seperti itu. "Ya karena kamu! Kamu gak tanggung jawab dengan apa yang kamu perbuat ke anak saya!"

            Daryl langsung menatap Gilang yang tampak takut dan membeku di sebelah sana. "Denger Lang? Dan lo masih bisa duduk di sana tanpa mau ngaku yang sebenarnya?"

            "Apa maksud kamu? Kamu mau fitnah Gilang?"

            "Gilang yang fitnah saya, Om," jawab Daryl berani. "Gilang yang bikin hamil Bella—"

            "Itu gak mungkin!"

            "Gimana gak mungkin?!" tanya Daryl dengan nada tinggi. Emosinya yang terpancing membuat ia berbuat tidak sopan pada pria yang ada di hadapannya. "Maafin saya Om. Tapi coba tolong Om pakai logika lagi. Siapa yang sering abisin waktu sama Bella? Gilang apa saya? Saya jarang banget ketemu sama Bella. Saya bakal buktiin dengan cara apapun kalau saya bukan yang hamilin Bella. Apa perlu tunggu anak itu lahir dan tes DNA? Saya berani."

            Ayah Bella terdiam, lalu kini menoleh ke arah Gilang yang tidak dapat berani menatapnya.

            "Terserah Om mau gimana, yang jelas saya berani ditantang apapun untuk membuktikan ini bukan salah saya. Saya tau Bella gak bermaksud fitnah saya, dia cuma gak berpikir jernih dan syok." Gilang tampak mengeraskan kedua rahangnya. "Maaf Om, Tante, saya permisi dulu. Saya gak bisa lama-lama di sini." Daryl pun langsung meninggalkan mereka dan berdoa dalam hati akan kesembuhan Bella.

            Daryl yang tadinya tampak kuat di depan keluarga Bella dan juga Gilang, kini tampak tidak berdaya begitu keluar dari rumah sakit.

            Ia merogoh kantung jinsnya untuk mengambil ponsel dengan tangan gemetar. Lagi-lagi cowok itu menelepon Adel.

--

Adel memasuki kafe tempat ia bertemu dengan Daryl untuk ketiga kalinya di hari ini. Adel tahu pertemuan kali ini ia dengan Daryl tidak seperti sebelumnya—pertemuan menyenangkan dimana mereka akan berbincang-bincang mengenai kehidupan mereka. Namun kali ini Adel tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres dalam diri Daryl.

            Bibir Adel membuat senyuman kala berhadapan dengan Daryl yang sudah lebih dulu duduk di sana. Daryl mendongak menatap Adel. Adel yang tadinya ingin mengucapkan maaf karena terlambat, tidak jadi melakukan itu karena ini pertama kalinya Adel melihat Daryl tampak tidak sehangat biasanya.

            Cowok bertubuh jangkung itu berdiri, menatap Adel yang jauh lebih pendek darinya. Tanpa berkata apapun, Daryl memeluk Adel, meletakan dagunya di bahu kecil gadis itu, seakan bahu Adel dapat menopang segala masalah dan pikiran yang ada dalam benak Daryl.

            Tentu saja perbuatan Daryl membuat Adel tak dapat berkutik selain membalas pelukan lelaki itu dan mengusap punggungnya yang membungkuk. Sudah lama Adel tidak merasakan sebuah pelukan dari seorang cowok, namun pelukan kali ini bukanlah sebuah pelukan yang membuat Adel merasa tenang dan hangat, tetapi sebuah pelukan dimana Adel yang harus lebih kuat untuk menguatkan.

            Tidak masalah bagi Adel untuk menjadi penopang bagi Daryl atau menjadi sesosok yang paling kuat bagi Daryl, karena Adel rela melakukan apapun, atau menjadi apapun, untuk membuat Daryl merasa lebih baik.

            Mereka melepas pelukan mereka dan Adel langsung tersenyum menatap Daryl, berharap kalau senyum Adel setidaknya sedikit membuat Daryl merasa lebih baik.

            "Sorry, saya lancang," ucap Daryl tanpa berani menatap mata Adel.

            "Gak apa-apa, Ryl," balas Adel lembut. "Duduk gih. Kamu ada masalah?"

            Daryl dan Adel pun duduk di bangku masing-masing. Daryl menghela napas berat, lalu mengusap wajahnya kasar. Ia pun mulai bercerita mengenai kejadian yang baru saja menimpanya.

--

"Jadi ... dia fitnah kamu?" tanya Adel yang masih tidak percaya setelah mendengar cerita yang dialami Daryl. Pikirannya mengenai kedekatan antara Daryl dan Bella selama ini ternyata salah. Dibalik semua ini, ada beban yang sedang sama-sama mereka pikul, yang sebenarnya, Daryl tidak perlu bersusah payah memikul beban ini.

            "Saya masih gak ngerti kenapa dia ngelakuin itu ke saya." Daryl menggelengkan kepala. "Saya bener-bener marah dan sempet bilang ke dia kalo saya gak akan maafin dia." Mata lelah cowok itu menatap Adel. "Menurut kamu, apa saya salah bilang begitu?"

            Adel terdiam. Kalau ia berada di posisi Daryl, dia juga pasti akan marah besar. Difitnah akan masalah sepele saja, akan membuat siapapun merasa sakit hati, apalagi masalah sebesar ini, Daryl tidak bisa disalahkan seratus persen.

            "Saya gak tau. Tapi saya yakin waktu itu kamu lagi emosi dan semua orang akan begitu. Kamu juga gak bisa disalahin sepenuhnya, Ryl. Tapi, kalo kamu udah mulai tenang, coba kamu pikir jernih lagi. Bella pasti gak maksud sama sekali buat nuduh kamu. Inget Ryl, dia mikul semua ini sendiri. Cowok yang seharusnya bertanggungjawab, gak mau mikirin keadaan Bella. Pasti pas itu Bella lagi gak berpikir jernih dan saya yakin, dia pasti nyesel sekarang."

            "Jadi saya harus gimana sekarang?"

            Adel menghela napas panjang. "Lebih baik kamu omongin baik-baik sama Bella kalau dia udah siuman nanti. Kamu bilang kalo kamu gak bisa dituduh dengan cara kayak gini. Tapi inget ya, kamu harus ngomong sama dia baik-baik. Kamu harus yakinin dia kalo kamu selalu ada buat dia dan kamu gak akan biarin dia sendirian ngadepin semua ini." Adel tersenyum. "Saran saya sih begitu, semua keputusan balik di tangan kamu."

            Daryl mencerna segala ucapan Adel dan tampaknya cowok itu dapat menerima saran tersebut. Kalau bagi Daryl ini semua berat, bagi Bella ini jauh lebih berat lagi. Daryl menganggukan kepala, apa yang diucapkan Adel benar. Bella butuh seseorang di tengah-tengah kekacauan ini.

            "Saya coba bicara sama dia nanti kalo dia udah siuman." Daryl tersenyum. "Makasih Del. Rasa benci saya ke Bella seketika turun drastis."

            Adel terkekeh, merasa bangga dalam hati juga karena berhasil menciptkan sebuah kedamaian. Adel bukan orang yang senang mencari ribut dan masalah. Bisa saja, gadis itu mengompor-ngompori Daryl untuk menjauhi Bella karena cewek itu jahat, namun itu bukanlah sebuah pilihan tepat dan bijaksana.

            Daryl menggenggam tangan Adel dan bibirnya tersenyum menatap gadis di hadapannya ini. "Makasih banyak ya, Del."

            Adel tersenyum dan mengangguk, berusaha terlihat tenang dengan apa yang dilakukan Daryl terhadapnya. "Sama-sama. Semoga kalian bisa sama-sama nyelesain masalah kalian."

            Daryl mengangguk dan melepas genggamannya. "Saya anter pulang ya?"

            Kali ini Adel tidak ingin menolaknya karena alasan tidak enak. Daryl adalah seseorang yang gadis itu inginkan kali ini.

****

Untold FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang