2

4.9K 325 8
                                    

Happy reading 😁
.
.

Tinggal beberapa minggu menjelang kenaikan kelas. Suasana sekolah tampak sedikit lengang karena sebagian senior mulai jarang datang ke sekolah. Ujian Nasional sudah diselenggarakan. Ujian Akhir Sekolah tertulis untuk kelas 12 diselenggarakan sebelum UN. Tinggal ujian praktik.

Namun bukan berarti SMA Kenanga 01 Bandung ini sepi dari motor-motor yang dibawa para siswa kelas 10 dan 11. Salah satunya, motor Kawasaki warna merah terang dengan suara mesinnya yang khas membuat pandangan beberapa siswa melirik. Pengemudi motor itu langsung mengambil tempat di bawah pohon rindang, tempat ia biasa memarkirkan motornya. Tukang parkir yang bertugas sengaja mengosongkan tempat itu demi motor yang baru saja terparkir rapi.

"A, titip si merah nyak?" Sahut pengendara itu usai memarkirkan kesayangannya. Dia belum melepas helm full-face yang serasi dengan motor sport-nya itu.

"Siap bos!" Jawab tukang parkir itu seraya menerima selembar sepuluh ribu dari pengendara motor tersebut. Lumayan buat ngopi sambil ngudud.

Dia membuka helm-nya. Mario Yudha Faza, pengendara motor sport tersebut, mengacak sedikit rambutnya yang tertutup helm tanpa menyadari betapa terpesonanya sekelompok siswi kelas 10 menatapnya. Sayang, laki-laki itu memilih untuk mengabaikan tatapan-tatapan memuja itu.

"Pagi, ganteng." Bisik seseorang dari sebelah kanan, dengan suara berat khas laki-laki. Dan demi apapun, gaya keren dan kalem khas seorang Mario Yudha Faza langsung ternoda. Rio langsung bergidik ngeri. Menjaga jarak sejauh mungkin seraya mengeluh.

"Kampret lo, Fiz! Geli tau!"

Hafiz, laki-laki yang tadi memanggil Rio dengan suara sok genit, tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksi Rio.

"Deuuhhh yang rindu akan salam-senyum-sapa perempuan terkasih. Dikasih begitu aja seneng." Goda Hafiz sambil terkikik.

"Anjir, nggak segitunya ya Fiz! Sumpah, cuman laki sekong doang yang balik membalas salam lo itu!"

Hafiz lagi-lagi tertawa. "Lebay lo!"

Rio tidak lagi membahas. Dia dan Hafiz sama-sama menyusuri lorong sekolah menuju kelas mereka, XI-IIS 2. Bagi yang tidak familiar dengan istilah ini, IIS adalah singkatan dari Ilmu-Ilmu Sosial. Dulunya populer dengan sebutan jurusan IPS alias Ilmu Pengetahuan Sosial.

"Pagi Kak Rio!" Sapa salah satu siswi, entah siapa namanya dan kelas berapa, ketika Rio melintas. Kalau tidak salah, dia anggota pengurus OSIS. Masih kelas 10. Dia menyusuri lorong lantai satu bersama salah satu temannya, yang juga anggota OSIS.

Rio hafal karena dia juga kebetulan pengurus OSIS. Maklum, wakil ketua OSIS. Ehem.

Yang membalas malah Hafiz, laki-laki yang sudah menjadi temannya sejak hari pertama masuk SMA. "Pagi juga cantik! Rio lagi sakit gigi, makanya nggak balas." Sahut laki-laki itu, mewakili Rio. "Salam balik dari Rio!"

"Lo ngapain sih ngeladenin mereka? Pake salam balik dari gue lagi!" Desis Rio tidak senang. Apalagi menyadari bahwa siswi barusan terkikik geli sambil senyum sumringah karena ucapan Hafiz, lalu buru-buru masuk ke kelas mereka.

"Sesekali menyenangkan hati penggemar lo lah, Yo. Ramah dikit, biar lo dapet pendamping buat Prom nanti."

"Ebuset! Kelas 12 aja belum, lo udah kepikiran Prom. Kejauhan!"

"Biarlah, Yo. Bukannya bagus mempersiapkan segala sesuatu sebelum waktunya?" Hafiz lalu nyengir.

"Persiapannya nggak setahun sebelum juga dong, Fiz."  Rio tidak habis pikir dengan jalan pikiran Hafiz. "Mending lo gunakan itu persiapan setahun buat UN, ujian masuk perguruan tinggi. Bukannya nyari pasangan Prom."

"Setahun ya?" Hafiz mendadak diam, merenungi sesuatu. "Gila, abis ujian kenaikan kelas, kita resmi jadi anak kelas 12! Nggak nyangka gue." Gumam Hafiz selagi mereka menyusuri tangga menuju lantai 2, dimana kelas mereka berada.

Rio mengangguk. "Setahun lagi ya? Nggak kerasa."

Tidak terasa, hampir empat tahun berlalu begitu saja. Seolah penunggu waktu mempercepat detik demi detik yang Rio alami.

Sampai detik ini, kejadian itu masih melekat.

Sampai saat ini, Rio masih saja mengingat secara detil kenangan buruknya.

Lucunya lagi, kenapa sampai detik ini seorang Mario Yudha Faza tidak bisa membuka hatinya dari cinta monyet yang tidak serius itu?

"Yo! Kemana lo jir? Mau ke ruang guru?"

Hafiz membuatnya berhenti melamun. Barulah Rio sadar kalau kelasnya sudah terlampau jauh. Dia nyaris mendekati tangga malah.

Kacau. Dia sampai lupa letak kelas sendiri.

Rio langsung balik badan. Apalagi melihat sosok Alvia yang mendadak muncul dari bawah. Perempuan itu baru datang.

"Pagi, Yo. Kok elo ninggalin gue sih? Kan gue jadi nggak bisa nyobain motor merah baru lo." Sapa Alvia, dilanjutkan dengan keluhan paginya. Resiko bertetangga ditambah bersahabat, mereka biasa pulang-pergi bersama walau hati Rio merana karenanya.

Rio memutar matanya, seolah keluhan Alvia adalah salah satu keluhan yang tidak sepatutnya diucapkan dengan status mereka saat ini. "Please Al, motor baru gue itu sama aja dengan motor lama gue. Cuman ganti warna."

"Nuansanya pasti beda dong!"

Yeah. Whatever.

Rio mempercepat langkahnya, masuk ke dalam kelas. Alvia tidak lagi mengikutinya masuk, melainkan mematung di depan pintu kelas Rio seraya berkata,

"Pokoknya gue pulang bareng lo ya, Yo! Gue tunggu lo di dekat motor kesayangan!" Tanpa memedulikan jawaban Rio, Alvia langsung pergi menuju kelasnya.

Beruntung, kelas masih sepi. Hanya beberapa siswa di kelas yang melihat seraya menggelengkan kepala melihat Alvia. Rio sendiri sudah tidak tahu harus menyimpan mukanya dimana lagi.

"Jrit, malu banget! Era aing!" Gumam Rio mengumpat dengan bahasa Sunda kasar. Hafiz malah tertawa melihat tingkah konyol temannya itu.

"Yaelah, kayak lo lupa aja si Alvia itu gimana. Ini kan udah kesekian kalinya dia jerit-jerit di depan kelas, ngajakin lo pulang bareng." Ujar Hafiz, kemudian tertawa. "Untung dia jerit-jerit begini waktu kelas masih kosong. Nggak waktu kelas rame."

"Lima belas siswa dari tiga puluh jumlah total itu sudah lumayan ramai, Hafiz." Komentar Rio, yang sempat menghitung berapa jumlah siswa di kelasnya yang sudah datang ketika Alvia berteriak barusan di depan pintu kelas.

Rio meletakkan tasnya di bangkunya, dua dari depan, deret ketiga dari pintu. Di belakangnya, Hafiz, sudah lebih dulu menyimpan tas dan duduk di mejanya.

"Yo, sampai detik ini gue masih nggak percaya."

"Nggak percaya sama apa?"

"Elo sama Alvia. Gue masih nggak percaya kalau lo sama Alvia itu pernah jadian." Lalu Hafiz terkikik.

Rio seketika menyesal pernah menceritakan masa lalunya pada Hafiz.

"Parah. Lo malah ngetawain gue." Gumam Rio sebal.

"Yah, mau gimana lagi. Hubungan kalian bahkan lebih tepat jadi budak-majikan, bukannya sepasang sahabat dari kecil yang pernah jadian." Gumam Hafiz, menyuarakan pendapatnya.

"Udah ah, jangan dibahas lagi. Bikin bete pagi-pagi lo." Rio memilih untuk menyalakan musik pagi harinya dan mendengarkan lewat perangkat headset hingga upacara bendera akan dilaksanakan di tengah lapangan. Hafiz tidak lagi bicara karena dia tahu Rio butuh waktu sendiri.

Alvia. Lo benar-benar menyebalkan.

Tapi... gue tidak pernah bisa membenci dia.

○●○●○●○

Notes: Ngudud kata lain dari Ngerokok, bagi yang nggak familiar dengan istilahnya.
.
.

Terima kasih sudah mampir membaca dan memberi apresiasinya 😊

Dan tahukah kalian, kalau Sayang Project diramaikan oleh lima penulis Wattpad lainnya dengan judul yang berbeda?

Setengah MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang