2 (Pjm)

3.8K 499 13
                                    

Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi selain memapah tubuh dingin orang asing ini menuju rumah sakit. Ia mendapat perawatan segera setelah tiba di ruang UGD sementara aku sibuk mengutarakan kronologis kejadian pada dokter.

Tidak ada kartu identitas atau telepon genggam yang bisa kugunakan untuk mencari tahu asal pemuda itu. Asumsiku mengatakan ia benar-benar mencoba membunuh dirinya sendiri dengan melepas seluruh pakaian di tengah malam bersalju. Sekarang, tepat setelah aku menyelesaikan administrasi ruang perawatan dan memutuskan untuk pergi ke kamar pasien, tiba-tiba saja diluar terjadi badai, aku meringis mendengar derak angin liar di luar jendela. Membayangkan bagaimana jika kami bertemu lebih lambat atau tidak sama sekali. Bagaimana jika ia berhasil melakukan niat awal dan kehilangan nyawa dalam keadaan membeku? Kenapa juga aku harus peduli? Tapi bukankah membiarkan seseorang melakukan kekeliruan di depan mata tanpa mencegah adalah hal yang lebih buruk?

Kepalaku tertoleh pada deritan ranjang pasien yang berbunyi cukup nyaring. Bocah bersurai legam dengan iris setajam belati kini sudah terbangun dari tidur. Bibirnya masih pale, tapi dokter bilang ia akan baik-baik saja. Jadi aku tidak akan menanyakan keadaannya seperti orang khawatir.

Awalnya manik pemuda itu mengedar mengenal tempatnya terbangun sekarang. Alis tebalnya bertaut penasaran, dahi berkerut sementara mata bulatnya memicing kesana kemari dan itu mengundang tawaku karena wajahnya sangat lucu.

Sialnya tawaku malah menarik perhatian pemuda itu hingga maniknya berkilat waspada.

"Siapa kau?" desisnya berbahaya. Aku terbatuk sebelum melipat tangan di depan dada, punggung bersandar di kusen jendela. Berusaha tidak terlihat salah tingkah. Ia melanjutkan, "Dan kenapa aku ada disini?"

"Aku membawamu karena kau hampir mati kedinginan di tengah salju, pukul satu malam."

Jawabanku tidak merubah ekspresi garang di wajah pemuda itu. Ia malah semakin terlihat marah dan memandang kesal pada infus yang tertancap di tangan.

"Apa kau mencoba bunuh diri?" tanyaku.

"Kalau kau sudah tahu kenapa bertanya?"

Jawabannya membuatku membisu, aku menimbang untuk melangkah mendekat. Berdoa agar ia tidak cukup gila untuk melakukan sesuatu hal yang buruk pada infusnya atau padaku.

Nyatanya pemuda itu tidak melakukan apa-apa-selain menunduk, mengurut pelipis dengan wajah sedikit panik.

"Siapa namamu?"

Pertanyaanku sukses membuatnya menoleh. Untuk sesaat wajahnya meragu. Bibir tipis yang tadinya pucat kini kembali memiliki warna pink alami, labium itu bergerak perlahan menyebutkan identitas pertama yang kubutuhkan. "... Jungkook."

Aku memamerkan senyum terbaikku, segera menyebut namaku juga. "Jimin."

Selanjutnya hanya suara badai di luar yang mengisi kekosongan di antara kami. Jungkook memandang kaca jendela yang bergetar ditabrak angin. Aku menatap pemuda itu dalam diam. Menelisik setiap sudut rupa serupawan malaikat namun sekaku marmer. Jungkook mengatup rahang untuk menyembunyikan apapun yang ia pikirkan. Warna matanya lebih legam saat menangkap gerakan jam dinding di atas jendela, pukul tiga pagi.

"Keluargaku bakal mencariku." Ia bergumam pelan, hampir tak terdengar jika saja aku tak mendekatkan wajah. "Taehyung dan mommy akan khawatir."

Heran, padahal dia baru saja melakulan percobaan bunuh diri. Tapi masih mengkhawatirkan orang lain. Risau pemuda itu lama-lama membuatku risih. Aku menarik ponsel dari saku parka, mengulurkan pada Jungkook.

"Hubungi mereka dan katakan kau baik-baik saja."

Tanpa menjawab, Jungkook meraih ponsel. Menekan beberapa nomor dan mendekatkan benda itu ke telinga. Aku berbalik untuk beristirahat di sofa kamar inap. Mataku tak luput dari wajah datar Jungkook, mengamatinya berbicara, menyaksikan bagaimana raut keras perlahan luntur menjadi senyuman kecil.

Tatapanku melembut, menyadari sisi lain dirinya membuat hatiku bergetar entah untuk perasaan apa.
Aura negatif yang mengelilingi pemuda itu luntur begitu saja saat ia berbicara dengan orang seberang telepon.

"Terimakasih."

"Letakkan saja di atas nakas."

Aku malas beranjak dari sofa. Jungkook menuruti perintahku, ia memiringkan tubuh untuk meletakkan ponsel di sebelah ranjang. Sedikit mengecewakan karena senyuman tadi juga ikut berakhir segera setelah ia mengangkat wajah. Aku diam saja melihat Jungkook mengarahkan atensi pada manikku.

"Aku punya permintaan."

Tanpa menungguku menjawab, Jungkook berucap lagi.

"Jangan bilang pada Taehyung kalau aku mencoba untuk bunuh diri."

Aku bahkan tidak tahu siapa Taehyung. Mungkin dia seseorang yang penting bagi Jungkook. Dengan seringaian mengembang di bibir, aku merebahkan kepala di sandaran sofa. "Aku tidak keberatan untuk melakukannya. Tapi aku juga punya permintaan."

"Apa yang kau inginkan?"

"Jika kita bertemu lagi setelah malam ini- tanpa sengaja. Aku ingin kau berhenti berbuat bodoh."

Dapat kulihat sarat penolakan dari bola mata lawan bicaraku "Kenapa kau peduli?"

Ya, kenapa? Aku hanya merasa bocah ini berhak menikmati hidup karena masih ada yang bisa membuatnya tersenyum seperti tadi. Aku hanya tidak ingin ia menyia-nyiakan semua hal yang ia punya. Jika itu hanyalah sisa, setidaknya dia memiliki hal tersisa dalam dirinya selain hal yang membuatnya memilih untuk mati. Namun pikiran-pikiran itu pantas kusimpan sendiri. Karena aku terlalu baru untuk mengutarakan hal seintens itu. Aku tidak mau Jungkook menganggapku aneh.

"Tidak tahu. Sama dengan jawaban pertanyaan jika seseorang ingin tahu mengapa aku memilih menyelamatkan orang tolol yang sedang bunuh diri dan membawanya kerumah sakit, lalu membayar semua administrasi cuma-cuma."

Jungkook membuang muka. Bibirnya mencibir "Harusnya kau tinggalkan saja aku."

"Itulah, aku hanya tidak dapat dorongan untuk melakukan hal seburuk itu." kataku dibarengi tawa bodoh.

"...."

"..."

"Kau tidak tahu apa-apa."

Kali ini aku tidak membalas perkataan Jungkook. Dia benar. Sekali lagi, akupun bingung mengapa bisa jadi begitu bersemangat untuk mengetahui lebih banyak, meminta hal yang tidak benar-benar kuperlukan, maksudku memang apa pengaruhnya jika ia bunuh diri dan mati?

Hanya saja membiarkannya terasa tidak benar. Sekalipun Jungkook dan aku tidak pernah bertemu sebelum ini.

"Maaf." itulah yang kuucapkan pada akhirnya. Jungkook menoleh padaku lagi, tatapan penuh tanya diutarakan tanpa kata.

"Kapan keluargamu datang?"
Aku memilih mengabaikan. Berbaring, memejamkan mata dan meringkukan tubuh merapat ke sandaran sofa.

"Besok pagi. Pagi sekali."

"Oh, kalau begitu kau harus tidur."

"Ini sudah jam 3 lewat omong-omong."

"Berhenti bicara dan tidurlah agar kau kembali sehat."

"Jimin berapa umurmu?"

"Sembilan belas tahun."

Lalu kudengar suara tawa Jungkook mengudara untuk pertama kali. Mengundang tubuhku berbalik hanya untuk menyaksikan pipinya terangkat naik menampakkan susunan gigi kelinci yang rapi. Aku bersumpah dia sangat manis dengan senyum itu. Wajahnya seperti anak kecil mendapat mainan baru.

"Tapi badanmu kecil sekali."

Jika saja memukul pasien bukan tindakan kriminal. Aku ingin melempar pantofelku pada kepalanya saat ini juga.

"Sialan kau."

Tapi terimakasih pada senyum Jungkook yang menawan. Aku merasa sesuatu dalam diriku bisa memaafkan perkataannya karena itu.

.
.
.

"he is a boy with beautiful and empty eyes."

***

SAVE METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang