16 (Jjk)

2K 302 32
                                    

Jiminie hyung dan aku bahagia selamanya.

Itu adalah sebuah harapan klise yang kuinginkan. Paling tidak setelah Jiminie hyung tahu tentangku seutuhnya dan tidak keberatan mengenai itu.

Untuk pertama kalinya, aku merasa puas dengan pilihanku. Tinggal bersamanya, melihat Jiminie hyung setiap hari, pergi ke kampus dengan mobil yang sama, belanja ke supermarket berdua, tidur memeluknya. Aku menyukai ide untuk meninggalkan apa yang berlalu di belakang ingatanku. Tidak mengejar hal-hal yang memicu trauma. Rasanya lebih mudah untuk mengatakan aku baik-baik saja tanpa merasa berbohong kali ini. Aku lebih dari baik-baik saja bersama Jiminie hyung.

Dia segalanya untukku.

Malam ini, aku terbangun.

Hal yang tidak biasa terjadi; kami tidur terlalu larut karena sebuah rutinitas. Biasanya terbangun pukul 6 atau 7 pagi. Jiminie hyung selalu bangun lebih awal karena dia menyiapkan sarapan.

Tapi ini lewat tengah malam.

Aku menyadari rasa kantukku telah menghilang begitu saja. Berganti dengan rasa penasaran bunyi jam dinding diluar kamar. Kenapa bunyinya begitu nyaring?

Tanpa berencana membangunkan Jiminie hyung, aku menuruni tempat tidur tanpa suara. Lampu tidur kunyalakan, kemudian aku menengok kebelakang, melihat Jiminie hyung yang masih terlelap memunggungiku. Napasnya mengalun teratur, mengundang senyum dari belah bibir milikku, tergoda hanya untuk sekedar mengecup bahu telanjangnya yang tak tertutup selimut. Tapi tidak kulakukan karena aku tahu dia pasti kelelahan.

Aku bermaksud menyeduh teh dan menonton televisi di ruang tamu. Setidaknya sampai aku mengantuk lagi dan sebetulnya perutku sedikit lapar sekarang.

Aku melakukannya. Duduk sambil mengangkut camilan dan sebotol cola dari kulkas. Tidak jadi teh karena aku malas menyeduh air panas. acara tengah malam didominasi oleh film-film lawas dan horor. Aku merebahkan diri di lengan sofa, mengantar satu persatu keripik singkong dalam toples ke dalam mulutku.

Semua baik-baik saja sampai fokusku beralih pada suara jam dinding, lagi.

Aku menoleh. Pukul 3 malam. Kemudian karena sebuah dorongan insting memeriksa ruang dapur yang lampunya menyala secara mendadak. Tidak ada apa-apa disana.

"Sepertinya aku lelah." kataku sembari mengurut kening.

Aku berbalik, bermaksud kembali ke kamar dan tidur bersama Jimin. Perasaanku mendadak berubah waspada sesaat sebelum menyusuri pintu pembatas antara dapur dan ruang tamu.

"Kookie."

"Ibu."

Mulutku mengatakan kata itu begitu saja. Meyakini jika sosok yang tengah duduk di atas sofa dengan gaun berwarna putih selutut itu benar-benar orang tuaku.

Bukankah aku melupakan wajahnya? Lalu kenapa aku bisa tahu itu dia?

Wanita itu tersenyum. Mempointer tangannya agar aku duduk disebelahnya. Tapi aku tidak bergeming.

"Apa yang kau lakukan disini?"

"Aku mencoba memberitahumu." mimik wanita itu berubah sedih karena kuabaikan. Aku mengepal tangan erat. Mencoba untuk tetap berdiri ditempatku.

SAVE METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang