Aku membuka mata dan segera melihat Jungkook di hadapanku.
Ia berbaring miring, menangkup sebelah tangan di permukaan kasur sementara setengah tubuhnya tenggelam dalam balutan selimut. Netra Jungkook terpaku padaku, terlihat segar; kelihatan seperti ia bangun lebih awal dan terus bertahan pada posisi itu. Namun yang mengganggu pikiranku adalah tatapan intens dari dua manik legam miliknya, sebuah tatapan yang berhasil membuatku berpikir jika aku telah melakukan hal konyol saat terlelap. Itu membuatku panik dan mulai terfokus pada apa yang Jungkook amati dari wajahku, aku bangun, berlari ke kamar mandi dalam kamar dan mencuci wajah dengan sabun. Saat kembali ke kamar, Jungkook sudah duduk dengan lipatan selimut rapi disebelah tubuh. Ia bersila dengan tampang bantal yang jauh dari kata lusuh, masih menatapku intens seolah hal buruk di wajahku tak bisa hilang dengan gosokan sabun.
Aku tidak ingin frustasi terlalu awal, jadi aku menghela napas, duduk di hadapannya, membalut diri dengan selimut lagi.
"Kau kenapa?"
"Lapar, Hyung."
Jungkook memang misterius, ada banyak hal dalam dirinya yang membuatku bertanya, nyaris gila karena penasaran. Tingkah laku susah ditebak, sering mengubah tabiat dan ekspresi minim. Sosok seperti itu membuat kesan dewasa yang kental, kadang berhasil membuatku lupa jika Jungkook memiliki umur lebih muda.
Tapi mungkin ini adalah saat dimana dirinya kembali ke tabiat natural, dengan dua bola mata besar yang baru kusadari lebih mirip kelinci, ia memohon untuk mendapatkan sarapan, menungguku bangun dari tidur agar bisa merengek seperti anak tak berdosa. Aku tak kuasa menahan senyum di bibir, mengusak surai lembutnya sebelum menarik Jungkook ke ruang makan.
Karena ini dirumah nenek, maka segala hal bakal terasa instan. Beliau memiliki kebiasaan bangun paling awal dan melakukan segala hal sebelum matahari terbit. Maka ketika aku dan Jungkook sampai di meja makan, kami melihat hidangan hangat tersaji di atas nampan. Nenekku berada di sebelah meja, menata tiga gelas kecil teh tradisional kesukaannya. Saat melihat kami, wajah nenek berubah sumringah, jarinya mengetuk permukaan meja; meminta kami segera duduk.
Aku dan Jungkook menurut, meminum teh dan makan makanan yang tersaji tanpa suara. Ada tradisi keluarga yang melarang kami bicara selagi makan, kelihatannya Jungkook menyadari hal ini karena ia bisa duduk tenang tanpa terlihat canggung saat menikmati hidangan.
Usai sarapan, aku dan Jungkook membersihkan diri di kamar mandi berbeda. Kami bertemu lagi di teras depan. Aku menemukannya duduk berselonjor, menatap tanaman mawar di balik pagar-- milik nenek.
Aku duduk disebelahnya, ia menoleh untuk menyunggingkan senyum sekilas sebelum bergumam.
"Hyung, maaf aku merepotkanmu."
"Apa kau punya kebiasaan mengatakan hal seperti itu tiap berkunjung ke rumah seseorang? Kau mengatakan hal yang sama padaku terakhir kali kita disini." Ia tersenyum lagi. Hatiku sedikit menghangat mengetahui Jungkook sudah kembali seperti biasa. "Apa yang kau pikirkan?"
"Banyak. Kebanyakan tentang ibuku."
Alisku bertaut bingung. "Kenapa ibumu?"
Jungkook terdiam, mengalihkan atensi pada kaki telanjangnya. Untuk sesaat aku menyadari tatapannya berubah kosong "Aku tidak ingat wajah ibuku."
Harusnya aku tahu ia tidak pernah baik-baik saja. Jungkook memiliki masa lalu kelam; menyebabkan trauma mendalam. Meskipun dirawat oleh keluarga yang menyayanginya, tentu itu tidak akan cukup.
Jungkook pasti memiliki sisi rapuh dan rentan, seapik apapun ia menyembunyikan kesan itu, ada kalanya Jungkook butuh melepaskan duka. Ia bisa rindu orang tuanya kapan saja. Dan aku harusnya bisa melihat kelemahannya tanpa harus ia tunjukkan. Aku begitu bodoh karena menganggap diriku tahu tentang Jungkook. Dia benar. Aku tidak tahu apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVE ME
RandomJungkook berusaha menjauhkan semua orang dari dirinya karena ia telah menganggap hidupnya hancur. Jungkook selalu berpikir ia tidak pantas selamat. Semua karena pembunuhan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Dunia tidak lagi adil bagi pemuda it...