Bab 09 Perbandingan

14.6K 2.2K 45
                                    

"Eh busyet mobilnya Ra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Eh busyet mobilnya Ra. Liat tuh."

Kualihkan tatapanku ke arah mobil yang baru saja di parkir. Dari tempatku duduk di kantin ini bisa melihat jelas ke area parkir.
Mobil sport warna merah itu memang membuat beberapa mahasiswa menatap takjub. Tak terkecuali aku dan Nana.

Dan saat pemiliknya keluar dari dalam mobil aku terkejut. Itu si Satya.

"Eh Satya yang punya? Dia tajir  abis ya."

Nana masih menatap Satya yang kini melangkah ke arah kami duduk. Lalu dalam seperkian detik Satya sudah duduk di sampingku.

"Hai Ra.."

Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum.

"Itu mobil kamu Ya? Keren."

Nana sudah menanyakan hal itu kepada Satya. Dan pria di sampingku ini hanya tersenyum.

"Apakabar pengantin baru?"

Deg

Aku tahu Satya tidak hadir saat aku menikah. Aku memang tidak mengundang teman kampusku.

"Baik."

"Satya jangan gangguin Zahra. Dia udah istri orang."

Celetukan Nana membuatku tertolong. Dan aku tahu kalau Mas Rasyid sudah menjemput jam segini. Aku langsung beranjak dari dudukku.

"Sorry ya aku harus pulang."

Saat aku mengambil tas yang ada di samping Satya, dia memegang tasku.

"Aku antar Ya? Kebetulan aku mau jemput mama yang lagi nyalon."

Tapi Nana sudah berdiri dan  mengalihkan tatapan Satya.

"Sama aku aja. Zahra kan dijemput sama Mas Rasyid. Gak boleh Sat kamu itu."

Satya masih menatapku lekat dan membuat aku jengah.

"Kenapa kamu menikah Ra. Aku bisa menikahimu sekarang juga kalau kamu mau. Aku bisa membawamu ikut serta ke London. Karena aku akan pindah ke sana. Meneruskan pendidikan di sana dan ikut kedua orang tuaku. Kenapa kamu menikah Ra?"

Ucapan Satya membuatku pening. Dia yang membuat pertahanan aku goyah.

"Dek."

Suara Mas Rasyid membuat aku menoleh ke arah belakang. Dan memang Mas Rasyid sudah menghampiriku di kantin. Segera aku menarik tasku dan berpamitan dengan Satya dan Nana. Tidak mau lagi tergoda.

"Fatur udah nungguin di mobil tuh. Katanya kamu lagi di sini."

Aku hanya menganggukkan kepala. Lalu Mas Rasyid meminta tas ranselku  dan membawakannya. Saat itulah aku menoleh ke arah belakang. Satya masih menatapku dengan pandangan terluka. Astaghfirullah. Aku tidak boleh begini.

******
"Jadi rumah yang kemarin dulu itu milik Mas Rasyid kan?"

Suara Fatur yang duduk di jok belakang menyadarkan lamunan ku. Sejak masuk ke dalam mobil hatiku sedikit gelisah. Kenapa Satya baru mengatakan lamaran itu sekarang?

"Yang di daerah condong catur? Iya itu rumah mas. Tapi terlalu jauh untuk ke kampus Zahra dan juga kampus tempatku mengajar. Jadi ya kami tinggal di rumah yang ada di Jalan mataram."

Aku jadi teringat kalau Mas Rasyid juga punya rumah lain. Rumah yang lebih bagus dari yang aku tempati saat ini.

"Owh  gitu. Lha tapi kan belum jadi ya mas? Apa mbak ku ini betah tuh tinggal di situ?"

Eh kok pernyataan Fatur membuat aku langsung menoleh ke belakang. Adikku itu memang tahu sekali  dengan sifatku.

"Memangnya adek gak betah Ya?"

Aduh. Pertanyaan Mas Rasyid membuat aku menatapnya. Dia tampak bingung saat ini.

"Iya tuh mas. Mbak Zahra itu maunya yang kayak barbie itu rumahnya. Orang kamarnya aja harus ada ac, karpet bulu  domba dan dindingnya harus wallpaper hello kitty."

"Fatur!"

Aku menghardiknya  dan membuat Fatur menyeringai lebar.  Sedangkan saat aku menoleh ke arah Mas Rasyid dia sudah kembali fokus ke jalan. Dan wajahnya itu....

*****

Sampai di rumah setelah mengantar Fatur pulang. Mas Rasyid hanya diam. Bahkan dia sudah mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat ashar sendiri. Biasanya dia mengajakku berjamaah. Akhirnya aku shalat sendiri di dalam kamar. Bukan di kamar yang dikhususkan untuk shalat.

Saat aku selesai, Mas Rasyid juga belum masuk ke dalam kamar. Aku jadi gelisah. Apakah dia marah kepadaku?

Akhirnya kuputuskan untuk berbicara dengan dia. Keluar dari dalam kamar, lalu mencari Mas Rasyid. Saat di ruang keluarga dan ruang tamu tidak ada aku segera ke dapur dan memang benar Mas Rasyid ada di dalam dapur.

Sedang memunggungiku dan berdiri di depan kompor.

"Mas."

Dia langsung menoleh ke arahku.

"Mas lagi masak. Kamu siapkan piring ya."

Aku hanya menganggukkan kepala dan menurut. Segera mengambil piring dari rak  dan menatapnya di meja makan yang ada di dalam dapur ini.  Mas Rasyid lalu melangkah mendekatiku dan menuangkan nasi goreng yang kasih mengepul itu.

"Mas lapar nih belum makan. Jadi buat nasi goreng gak apa-apa Ya?"

Aku jadi merasa bersalah. Tadi tidak sempat menanyakan dia sudah makan belum. Istri macam apa aku ini? Aku malah sibuk dengan kegundahan hatiku.

"Selamat makan."

Mas Rasyid tersenyum saat duduk di sebelahku dan menarik piringnya.

"Mas."

"Ya?"

Mas Rasyid kini menoleh ke arahku dan aku bisa melihat ketulusan di sana. Ya Allah. Aku makin merasa bersalah dengannya.

"Maafin Zahra ya. Maaf."

Aku menyentuh lengannya. Tetes air mata sudah membuat pandanganku kabur.  Mas Rasyid meletakkan sendoknya  lalu merengkuhku ke dalam pelukan. Rasanya damai.

"Maafin mas juga ya. Harusnya adek bilang keberatan kalau aku bawa  ke sini. Aku terlalu percaya diri kalau adek bisa menerima semuanya. Maafin mas."

Tangisku makin pecah mendengar ucapan Mas Rasyid. Kenapa dia begitu  baik. Padahal aku tadi untuk sesaat sudah meragukannya. Dan membandingkan dia dengan Satya.

"Adek gak perlu takut untuk bicara sama Mas. Kalau adek gak suka bilang saja. Toh kita masih sama-sama mengenal? Jadi jujur sama Mas ya?"

Tentu saja aku hanya menganggukkan kepala.  Mulai saat ini aku tidak akan tergoda lagi.

BERSAMBUNG

Hei mau nanya nih... siapa yang mau emaknya Rasyid ini di novelin?

Nikah Yuk! Yang mau pelukin unjuk jari dong. Nanti kalau banyak yang minat bisa author realisasikan. Yang pasti ada beberapa part tambahan ya...

Insyaallah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang