Prolog. (Broken Angel)

43 20 22
                                    

"Bangun sayang... Aku rindu kamu, apa kamu ga rindu aku juga?.. Bangun!!!" gumam Risya yang lagi-lagi harus terisak dengan pedih. Risya menatap gundukan tanah dihapannya dengan pandangan kosong. Membuat siapa saja yang melihatnya ingin ikut menangis.

Risya merempas sebagian tanah dan membuangnya dengan kasar, tidak peduli pakaiannya yang akan kotor, yang dia inginkan hanyalah melampiaskan semua rasa kekecewaannya terhadap dirinya sendiri.

"Sya, ayo pulang. Hari udah semakin gelap" ujar Jio lembut, tapi nyatanya Risya semakin menutup mata, telinga serta pikirannya dari semua orang. Dia tidak memperdulikan ucapan Jio, yang dia mau hanyalah manusia yang kini sudah terbenam dalam tanah basah itu bisa hidup lagi.

"Kenapa? kenapa dia tega ninggalin gue Ji?" tanya Risya dengan suara yang semakin hancur. membuat Jio, Vian, Dimas, Syarief, Ardian, Rava, Reisa serta Eka bungkam seketika.

"Hati gue sakit Ji, kenapa dia tega? gue bahkan ga tau dia punya penyakit sialan itu, Ji. Kenapa kalian semua tega sembunyiin ini dari gue? sebenernya salah gue apa? sampe kalian bisa dengan rapihnya sembunyiin ini semua dari gue?!" Risya kini semakin terisak, membuat Jio ikut meneteskan sedikit airmatanya.

"Maaf" cicit Jio yang kini mulai mendudukan tubuhnya di samping Risya, dipeluknya tubuh rapuh itu dengan erat.

"Jioo..... gue mau ikut Ren aja rasanya, lo jahat, lo jahat Jio!!" Risya memukul dada Jio dengan kencang, meronta dan menangis sepuasnya didalam dekapan kakaknya itu hingga semua tenaganya habis, ia diam namun masih terisak.

"Pulang ya? udah malem sya, Ren juga ga bakal mau liat lo kaya gini." dengan sisa tenaga yang ada Risya mendorong sekuat mungkin tubuh Jio dari hadapannya dan menatapnya dengan pandangan sendu.

"Ren disini sendirian Jio. Udah cukup bagi gue ninggalin dia semenjak kontes sialan itu, gue ga mau nyesel lagi."

"CUKUP RISYA!! gue tau lo sedih, gue tau lo marah sama diri lo sendiri, gue tau segala kekecewaan lo. Tapi ga kaya gini! dia udah tenang, biarin dia pergi. Please, jangan jadi orang bodoh! bukan cuma lo yang sedih disini, kita semua juga!" sentak Vian dengan muka merah padamnya. Vian sangat benci ketika ucapannya malah membuat Risya semakin terpuruk.

"Lo tau apa? Vian. Gue.....gue...gue.."

Brak!

Seketika tubuh rapuh itu jatuh tepat dihadapan semua orang, membuat semua yang ada disana berteriak histeris, terlebih lagi Jio.

***

Risya membuka matanya dengan perlahan, kepalanya terus berdenyut sejak ia mencoba untuk membuka matanya beberapa menit yang lalu, namun matanya terlalu berat sehingga baru sekaranglah ia bisa membukanya.

"Ren" gumam Risya spontan, ia mengedarkan pandangan matanya ketika melihat Jio yang terlelap disampingnya dengan terus menggenggam tangannya yang sedang diinfus. Risya melirik lagi kesekitar ruangannya. Semua teman-temannya ada disana, tertidur pulas dengan baju yang sudah terlihat lebih santai dibanding Jio, laki-laki itu masih memakai pakaiannya sama seperti terakhir kali Risya melihatnya.

"Jio..." panggilan lemah milik Risya berhasil membuat semua orang disana berlonjak kaget dan langsung menatapnya dengan pandangan berbinar.

"Risya! apa yang sakit? mana yang pusing? bentar-bentar, gue panggil dokter dulu" seru Dimas riwueh sambil berlari keluar ruangan.

"Apa yang sakit?hmmm?" tanya Jio yang sudah menitikan airmatanya, membuat Risya dengan sendu kembali memeluk tubuh Jio, ia tidak bisa menangis lagi. Airmatanya terasa sudah sangat kering, ia lelah dan hanya butuh sandaran sekarang.

"Sakitnya ada didalam dada Jio, apa bisa disembuhin sama dokter? gue pengen nangis lagi tapi rasanya, sulit Jio. Ada apa sama airmata gue?" tanya Risya balik dengan pandangan kosong, membuat Syarief menghapus airmatanya dengan kasar dan langsung memeluk kedua kakak-beradik itu dengan sendu. Diikuti dengan Ardian,Rava, dan Vian. Mereka semua berpelukan seperti teletubis.

"Masih ada kita sya, jangan kaya gini terus. Gue udah ga sanggup liatnya" ucap Ardian membuat pandangan kosong Risya sedikit berkurang.

"Sya, gue mohon jangan kaya gini" timpal Rava yang langsung diangguki oleh semuanya orang yang ada disana.

***

Seminggu sejak kematian Renzino pun sudah berlalu namun rasa sakit yang Risya rasakan kini belum juga sirna.

"Sya.." Jio mengelus puncak kepala Risya "Makan dulu yuk" ia menaruh nampan berisi sayuran itu dihadapan mereka berdua.

"Gue kenyang"

Lagi-lagi kalimat ini, Jio menghembuskan nafasnya kasar. Sudah tiga hari Risya terdiam didepan jendela kamarnya tanpa melakukan apapun. Untuk makan sekalipun rasanya Risya enggan untuk bergerak.

"Jio, percaya ga kalau tadi gue liat Renzino dijendela kamarnya. Dia pasti cape abis dari rumah neneknya makanya dia ga negor gue" ucap Risya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Lo salah Sya... Renzino ada di Jerman, besok kita kesana yuk. Dia udah nunggu"

Maaf, maaf Sya..

"Lo serius? Bukannya dia bilang kerumah neneknya?"

"Dia ada di Jerman, Rumah nenek Renzino kan emang di Jerman. Lo lupa ya?" Jio mengusap air matanya, ia harus kuat demi Risya.

"Oh iya gue lupa" Risya kembali menatap jendela kamarnya, didepan sana adalah balkon kamar Renzino.

"Tapi, sekarang minum obat dulu ya" ucap Jio sambil menyodorkan dua buat tablet obat kepada Risya.

"Tapi lo janji yaa, kita besok kesana" Risya mengambil obat itu lalu meminumnya setelah itu ia merebahkan badannya.

Jiopun mengangguk singkat lalu mengelus dahi Risya, menyelimuti gadis itu sampai leher.

"Mimpi indah"

Setelahnya Jio menutup pintu kamar Risya dengan perlahan, nafasnya terasa sesak ia sangat merasa bersalah memberi Risya obat penenang. Mungkin lebih dari kalimat itu.

"Gimana keadaan Risya?" tanya Arum, ibu kandung Renzino.

"Jio ga tega buat ngomong ini. Tapi kayanya Risya semakin parah. Dia tadi halusinasi"

"Kalian harus cepat-cepat ke Jerman dan bertemu Thomas. Om harap Risya bisa sedikit membaik disana" timpal Ferdi. Jio melihat pria paruh baya itu mengusap matanya.

"Jio harap Thomas bisa kita andalkan"

Retter. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang