Pagi yang cerah. Namun, tak secerah hati Zilya. Kejadian kemarin cukup membuat nyalinya menciut untuk bersekolah. Zilya menatap matahari di balik jendela. Berandai-andai, hidupnya seperti matahari. Bermanfaat, karena bisa menyinari bumi. Tapi, apakah dia bisa? Hidup bermanfaat untuk orang lain? Layaknya matahari. Zilya merasa, memang hidupnya tak berguna. Bagi dirinya maupun orang lain.
Kesedihan selalu menyelimuti hidup Zilya. Jika boleh berharap, maka Zilya akan berdoa, agar ada sosok yang mau mengerti, dan menerima dirinya, atau sekadar untuk menghiburpun tak apa. Zilya benar-benar kesepian. Mentalnya down.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Zilya. Ternyata, Mama datang membawakan nampan berisi sarapan. Zilya yang tadinya menoleh, kini membuang muka lagi. Mama menaruh nampan itu di atas meja. Memperhatikan sang putri yang termenung. Tapi, tak ada satu katapun yang keluar dari bibirnya, untuk menyapa Zilya, dan itu semakin membuat Zilya sedih.
"Ma," panggil Zilya ketika Mama hendak keluar. Akhirnya Mama menoleh.
"Apa?"
"Zilya pingin ngobrol sebentar boleh?" tanyanya. Sungguh, ia merindukan sang ibu. Meskipun berada di satu atap, namun ia merasa hidup sendiri.
"Zilya mohon, ma. Dua menit," pinta Zilya memohon. Akhirnya, sang mama duduk di atas kasur, dan Zilya duduk di samping Mama.
"Zilya lagi sedih, ma," ucapnya sambil bersandar di bahu Mama. Tapi, wanita paru baya itu hanya diam.
Zilya menatap tangan kirinya. Jari-jari bergerak.
"Gara-gara tangan ini, kebahagiaan Zilya hilang begitu saja. Zilya mau tanya satu hal boleh?" Mama mengangguk. Kini Zilya menatap mata sang mama.
"Setelah hidup Zilya berubah, kenapa mama juga berubah? Apa gak ada rasa belas kasihan di hati mama sedikitpun?" Mata Zilya berkaca-kaca, hidungnya memerah. Mama memalingkan wajah.
"Mama, Zilya capek. Apa harus, Zilya mengakhiri hidup ini? Supaya papa, dan mama gak ngerasa malu, dan gak ngerasa terbebani?" Zilya terisak. Namun, Mama masih saja terdiam. Seperti tak ada niatan untuk menjawab. Hal itu membut Zilya yakin, jika Mamanya memang sudah tak menginginkannya.
Semua orang tak menginginkannya, lantas untuk apa dia ada?
"Maafin Zilya, ma. Pasti mama muak, ya? Makasih untuk dua menitnya. Waktu mama terbuang cuma untuk dengerin curhatan gak penting. Aku sayang mama." Zilya mencium pipi Mama.
Tapi, mama langsung mengelapnya dengan tangan. Kemudian keluar dari kamar Zilya.
"Memang benar. Aku udah gak berharga buat mereka," lirihnya.
Jika bunuh diri tidak berdosa, mungkin saat ini ia akan membunuh dirinya sendiri. Agar penderitaanya hilang, meninggal dengan tenang.
Atau, haruskah dia pergi dari rumah? Hidup sendiri, dan mencari biaya hidup sendiri. Tapi, apakah dia bisa? Hidup menumpang dengan keluarganyapun dia masih kesusahan.
"Apa kita harus pergi?" tanya Zilya pada tangan kirinya.
"Kalo setuju, kamu tampar aku. Kalo nggak setuju, kamu jambak aku." Zilya menunggu jawaban tangan Aliennya, karena keputusannya saat ini bergantung pada tangan kirinya.
Seperti mengerti, akhirnya tangan kiri Zilya menjambak rambutnya. Yang artinya, ia harus bertahan. Di dalam rumah yang seperti tahanan penuh siksaan ini.
"Okey, seberapa kuat kita akan bertahan."
*****
Seperti biasa. Mengancing baju tetapi, ketika rapi malah dilepas kembali. Zilya benar-benar marah dengan tangannya. Akhirnya, gadis itu menggigit tangan kiri. Ia mengaduh sakit, bagaimanapun tangan kirinya tetap bagian dari anggota tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alien Hand Syndrome
Romansa#cerita ini mengandung bawang, dan bisa membuat emosi. "Ketika tanganmu, mengacaukan hidupmu." Itulah yang dialami Zilya Calista. Gadis cantik yang mengidap penyakit langka. Karena penyakitnya, ia diasingkan oleh orang-orang terdekatnya. Termasuk...