7

64 10 2
                                    

Terlalu banyak kekecewaan yang kupendam. Ketika semuanya bertumpuk dan penuh, hal yang kubenci akan menampilkan dirinya. Dia adalah air mata.

***

Melodi berada di dalam kamarnya. Setiap harinya masihlah sama, Melodi sibuk akan ujian-ujian yang akan dihadapinya beberapa bulan lagi. Baginya sangat membosankan, tetapi keadaan memaksanya untuk terus melakukan. Dia lelah, muak dan tidak ingin melanjutkan. Namun, Melodi sama sekali tidak memiliki pilihan.

"Mel ...."

Suara ketukan pintu dari luar membuat Melodi menghapus air matanya yang mengalir. Dia tidak pernah sadar ada berapa banyak luka yang menyeruak ke permukaan ketika dia melamun hingga air mata turun tanpa dia tahu.

"Ya?" jawabnya dengan suara sedikit bergetar.

"Keluar sebentar, Ibu sama Ayah mau ngomong."

Melodi keluar dari kursinya. Dia tidak pernah mengabaikan apa pun yang Ibunya ucapkan. Melodi yang penurut. Melodi menutup pintu kamarnya sebelum keluar. Dia tidak ingin siapa pun masuk, tanpa kecuali. Keluarganya hanya bisa mengintip dari balik pintu, tidak pernah bisa memasukinya.

"Gimana sekolah kamu?" tanya Bayu—Ayah Melodi yang memiliki badan sedikit gemuk dan bermata sayu.

"Baik."

Melodi kekurangan tempat untuk mengobrol dengan keluarganya karena sibuk dengan dirinya sendiri. Jadi, dia hanya akan berbicara bila ditanya.

"Ini semester enam, kamu udah siap hadapin ujian-ujian?"

"Siap kalau aku siapin, Yah."

Ibunya mendekat, duduk di sampingnya. Melodi tahu ada yang tidak beres dari pandangan kedua orang tuanya. Dia mencoba mengusir pikiran-pikiran negatif yang memengaruhinya. Tangannya digenggam oleh tangan kurus Ibunya, Melodi semakin takut untuk hal yang akan terjadi.

"Maaf ...," ucap Ibunya pelan.

Melodi diam sejenak. Dia tahu ada hal mengecewakan untuknya bila ada permintaan maaf yang keluar dari bibir kedua orang tuanya. Melodi tahu itu akan sangat melukainya. Namun, dia terus bersikap berpura-pura tidak tahu.

"Buat apa?" tanyanya kemudian.

"Ayah sama Ibu nggak bisa kuliahin kamu di kedokteran kaya yang kami rencakan dulu."

Melodi menatap lama Ayahnya yang berbicara. Dia tahu ada yang tidak benar, tetapi tidak menyangka bahwa inilah yang akan dia dengar. Dari sekian banyaknya pilihan, mengapa harus masa depan Melodi yang dilepaskan? Mengapa harus Melodi lagi yang mengerti?

"Kenapa?" tanya Melodi dengan suara hampir tak terdengar.

"Nada butuh uang banyak untuk wisudanya yang sebentar lagi, tabungan kuliah kamu terpaksa kami pakai. Nggak apa-apa kan, Mel?"

Ibunya mengelus kepalanya.
Melodi diam. Tidak tahu harus berkata apa. Seperti buminya telah runtuh bersamaan dengan kabar yang dia dengar barusan. Mimpinya ... hancur. Melodi bisa melepaskan apa pun untuk Nada, tetapi tidak untuk hidupnya.

"Ibu bilang, masa depanku baik-baik aja bahkan waktu kita bangkrut tiga tahun lalu, aku percaya. Selama ini, aku nggak pernah minta apa pun ke kalian. Aku kerja, untuk penuhin kebutuhan aku sendiri. Tapi kalau memang mimpi aku pun terlalu ngebebanin kalian, dan demi Kak Nada lagi, nggak apa-apa. Aku bisa kejer mimpiku sendirian."

Melodi IramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang