22

52 7 0
                                    

Aku pernah jatuh cinta dalam diam. Hingga terluka juga secara diam-diam tanpa dia tahu perihal apa yang sebenarnya terjadi. Karena apa? Aku tidak ingin kekecewaan menyinggahi

***

Diam. Tak ada suara apa pun. Suara angin sekali pun. Seakan waktu berhenti untuk berdenting. Seolah semua bunyi beranjak pergi.

Kedua pandangan itu kosong. Kedua pasang manik mata yang menatap dalam-dalam. Hanya duduk di kursi yang bersebrangan di ruang tamu rumah milik Irama.

"Gue pernah make narkoba, tiga tahun lalu baru berhenti, mungkin waktu pertama kali gue ketemu lo, lo harusnya tau gue lagi ngapain waktu itu."

Perkataan Irama membalikkan semua bahana untuk kembali. Menarik kesadaran-kesadaran yang sempat hilang selama beberapa waktu.

"Gue penasaran. Apa yang bisa narkoba kasih ke gue? Tenang? Bahagia? Gue selalu ngerasa melayang-layang setiap kali make. Gue selalu ngerasa semangat. Gue mulai ngerti kenapa Mama bergantungan sama benda itu—“

"Tapi dia buruk untuk tubuh lo, kejiwaan lo, dia bakalan bunuh lo perlahan," potong Melodi.

"Gue tau itu. Gue cuma mau ngerasain jadi Mama. Kenapa dia sampe sesuka itu dan relain nyawanya se ndiri—“

"Lo bego," penggal Melodi kembali.

Irama kembali diam setelah sekian lama membisu sebelumnya. Dia tahu semua kebodohan ada di dalam dirinya tanpa orang lain memberitahu. Irama cukup sadar apa yang dia lakukan selama ini adalah kenaifannya yang selalu berpura-pura.

"Gue berenti abis ketemu lo. Lo, cewek baik-baik yang setidaknya punya masa depan, calon dokter. Mana mau sama cowok yang rusak kaya gue." Irama tertawa geli. "gue nyoba untuk jadi 'pantes' di depan lo, nyatanya sama aja. Gue tetep nggak pernah pantes. Itu awal mula gue pake dumolid, dua tahun gue tahan, setahun terakhir gua nggak bisa lagi, akhirnya gua gunain itu obat biar gue nggak rasain cemas atau apa pun itu setelah nggak make narkoba. Hasilnya sama aja, nggak jauh."

Melodi ikut tertawa geli. "Kata siapa gue punya masa depan? Kata siapa gue bakalan jadi dokter?" ucapnya membuat Irama menoleh. "mungkin gue cuma bisa jadi pelayan di cafe selamanya setelah gue lulus sekolah."

Ada banyak harapan-harapan yang harus tenggelam agar tidak melukai siapa pun. Melodi melakukannya. Untuk tidak menyakitinya. Tidak menyakiti kedua orang tuanya. Tidak menyakiti kakaknya sendiri. Nyatanya, dia menahan bebannya sendirian.

Irama tak menjawab. Dia pernah berkata bahwa gadis itu bisa memiliki apa pun. Karena gadis itu mampu, tidak seperti dirinya. Namun, Melodi belum bisa untuk menghargai dirinya sendiri.

"Gue minum obat itu tanpa resep dokter, gue beli secara ilegal," ucap Irama mengalihkan pembicaraan, membuat Melodi menatapnya dengan sedikit terkejut.

"Kalo dari dokter, lo nggak akan minum sebanyak itu dan dosisnya yang makin lama makin tinggi. Resep dokter cuma untuk jangka pendek, sedangkan lo udah make setahun artinya jangka panjang. Kurangin sedikit demi sedikit karena nggak mungkin lo bisa lepas gitu aja atau rehabilitas," jawab Melodi mantap. "kalo lo butuh orang untuk jadiin alesan lo harus lepas dari obat itu, Papa lo ada, Raka dan Fadil ada, gue juga ada. Gue nggak mau ada di samping cowok yang ketergantungan obat. Pengecut. Masalah bukan buat lari, tapi dihadepin."

"Kalo gue bisa lepas dari obat ini, lo mau janji sama gue?" tanya Irama dengan mata menatap lekat ke dalam retina Melodi.

"Nggak," ketus Melodi membikin Irama membuang napasnya kesal.

"Lo harus janji."

"Apa?" kata Melodi akhirnya.

"Lo harus kejer cita-cita lo. Jadi dokter kaya yang selama ini lo mau. Jangan putus gitu aja cuma karena biayanya udah nggak ada. Waktu gue ketemu lo pas itu, gue ke rumah dan orang tua lo nyuruh gue untuk nyari lo, mereka khawatir lo bakalan kenapa-kenapa karena satu-satunya hal yang lo mau harus ilang juga, lo punya orang tua yang bangga dan sayang sama lo. Jangan buat mereka kecewa. Masuk dulu, gampang sesudahnya, lo bisa cari beasiswa, lo pasti bisa, nggak akan sia-sia lo jadi gila belajar selama ini."

Melodi IramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang