Ternyata, kepahitan itu tidak bisa kututupi dengan serapat-rapatnya. Ketika kehilangan merenggut bahagia, saat itu aku sadar bahwa duka seolah tersenyum dan memelukku dengan utuh tanpa sela sedikit pun.
***
Irama mengurung dirinya dalam kegelapan yang pekat. Tirai-tirai di kamarnya pun tidak terbuka sedikit saja untuk memberikannya penerangan. Setidaknya, agar cahaya matahari mampu menegurnya. Namun, Irama tak membiarkan satu pun binar untuk melihatnya.
Berulang kali dia memukuli dirinya sendiri, menarik rambutnya yang sudah tak beraturan, serta melukai tangannya. Irama kembali goyah karena berita itu. Untuk kedua kalinya, dia menyaksikan bagaimana orang yang dikenalinya pergi karena hal yang sama.
Semalaman dia tidak tidur. Dia tak beranjak dari karpet bulu di samping kasurnya, hanya duduk meringkuk di sana. Irama terlalu terguncang akan kematian Rizal.
Sekali lagi dia mengingat. Sekali lagi rekaman memori memutar ulang, di mana Mamanya meninggalkannya untuk selama-lamanya. Di mana busa-busa keluar dari mulut Mamanya dan dimulai saat itu, Irama tak mampu memeluk Mamanya lagi. Irama tak bisa mendengar lantutan melodi yang Mamanya biasa mainkan. Karena kepergian itu juga, semua mendadak berubah.
Papanya mulai menjadi seorang pecundang yang setiap harinya membawa wanita berbeda ke dalam rumahnya. Saat itu juga Irama masuk ke dalam dunia di mana Mamanya ditarik paksa untuk pergi. Irama terjerat narkotika, sama seperti Mamanya yang mati karena overdosis.
"Jangan lakuin kesalahan yang sama kaya Mama lo. Jangan tinggalin Papa lo yang juga sama ancurnya, jangan egois untuk biarin Papa lo ngerasain kedua kalinya kehilangan keluarganya, Ram, cuma lo satu-satunya keluarga dia yang kesisa."
Tuturan-tuturan dari Raka terngiang jelas di telinga Irama. Seolah menyuruhnya untuk memikirkan Papanya yang bahkan sibuk dengan dunianya sendiri. Raka yang menyuruhnya untuk berhenti dari sana. Namun, Irama tidak sepenuhnya berhenti karena ada obat lain yang dikonsumsinya hampir setiap hari selama satu tahun belakangan ini.
"ARGHHH!"
Irama berteriak sekuatnya. Dilemparkannya gelas di sampingnya ke arah kaca yang tergantung di dinding depannya hingga bunyi pecahan terdengar terlalu ramai untuk kesepiannya. Serpihan-serpihan itu jatuh dan beberapa mengenai wajahnya. Dia ingin melepaskan beban yang memberatkan pundaknya tanpa peduli sakit yang menembus dirinya. Irama ingin terbebas dari trauma masa lalunya. Sekali saja, Irama ingin baik-baik saja.
Suara handphone terasa tak terdengar. Berulang kali layar benda persegi itu hidup tapi diabaikan. Irama hanya ingin sendiri.
Irama beranjak. Pertama kalinya dia bergerak sejak tiba di rumahnya tadi malam. Dia menuju laci di samping tempat tidurnya dan mencari obat penenangnya. Irama mengacaukan isinya untuk menemukan, tetapi nihil karena obat itu sudah berada di tangan Raka.
"SIALAN!" maki Irama lagi begitu menyadari bahwa pasti Raka dan Fadil yang mengambil obatnya.
Irama telat menyadari ketika Fadil yang waktu itu tergagap melihat Irama sampai di rumahnya. Irama langsung mengambil ponselnya yang tergeletak di lantai. Dia menghubungi dengan napas tersengal-sengal.
"Di mana lo sembunyiin obat gue?" teriak Irama begitu panggilannya terjawab.
Hening. Tak ada jawaban. Selang beberapa menit, panggilan terputus. Membangunkan tekanan Irama lagi hingga laki-laki itu kehilangan kendalinya. Irama memukul dinding berkali-kali. Dia membenturkan kepalanya di sana. Hingga tetesan-tetesan darah mengalir tetapi terbiarkan saja. Karena luka di dalam sana lebih sakit daripada luka di tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi Irama
Teen FictionIni adalah nyanyianku. Suara yang ada tanpa satu pun terdengar olehmu. Ini adalah ceritaku. Suara tertahan yang selama ini terkungkung dalam tangis tiada suara, serta terpenjara dalam batas kebisuan. ________________________________________________...