Untuk harapan yang mematikan rasa. Apa ini terasa cukup dan pantas? Mengapa terasa terlalu kejam untukku yang bahkan tidak pernah menerima kata sempurna?
***
Hari-harinya terasa datar. Tidak lagi ada Irama yang mengganggunya. Tidak ada lagi Irama yang memaksanya untuk makan bersama di kantin. Tidak ada lagi Irama yang menjelaskan bahwa Melodi adalah hal terpenting bagi Irama.
Melodi tidak mengerti mengapa perasaannya tidak tenang. Melodi bimbang perihal mengapa hatinya terasa sakit mengetahui bahwa Irama benar-benar seolah menghilang dari hidupnya. Seakan Melodi hanyalah mahluk tak kasat mata yang hanya terlintas begitu saja. Seharusnya, dia bahagia bukan karena akhirnya Irama benar-benar pergi?
Tak ada sapaan lagi ketika mereka berpapasan. Tak ada lagi panggilan 'Mellow' yang hanya dimiliki oleh laki-laki itu. Tidak juga ada lagi Irama yang tiba-tiba saja muncul ketika Melodi membutuhkan pertolongan.
Ternyata begini rasanya terabaikan. Melodi menyalahkan dirinya sendiri yang sudah terlalu lama mengusir Irama dari lingkarannya. Padahal tanpa gadis itu sadari, Irama telah menjadi dari sebagian hal terpenting di hidupnya.
"Mel?"
Melodi tersentak begitu Dinda menyentuhnya. Dia kebingungan berapa lama dia terhanyut dalam pikirannya sendiri.
"Lo sakit? Gue mau ke kantin, mau titip?"
Melodi langsung mengarahkan matanya ke meja guru dan sudah tidak ada yang mengisinya. "Pak Bandi udah pergi?"
"Lo ngelamun aja. Udah istirahat, Mel. Lima menit lalu bapak itu pergi. Kenapa lo?"
Melodi menggeleng. "Gue laper. Yuk kantin."
Dinda mengabaikan keanehan yang terjadi dengan teman sebangkunya selama satu tahun itu. Dinda tidak terlalu mengenal Melodi meskipun hampir setiap hari bersama gadis itu. Dinda juga tidak mengetahui apa pun tentang Melodi sehingga dia hanya menjadi penonton atas apa pun yang terjadi dengan Melodi.
Dinda hanya mengobrol tentang hal-hal sederhana bersama Melodi. Mereka hanya melakukan hal-hal yang sepantasnya dilakukan oleh teman biasa. Itulah yang membuat Dinda cukup tahu diri untuk bertanya lebih banyak perihal keadaan-keadaan ganjil yang terjadi dengan Melodi.
"Rame nggak ya? Mager gue kalo rame," desah Dinda yang menarik perhatian Melodi lagi.
Mereka berjalan di koridor sekolah. Hanya tinggal berjalan lurus, melewati tangga menuju rooftop dan mereka akan bertemu dengan kantin.
"Rame pasti. Sejak kapan kantin nggak rame?" Melodi tertawa singkat. Tawa yang sama sekali tidak menyentuh matanya.
Mereka masuk ke pintu kantin. Melodi dan Dinda sama-sama membuang napas kecewa begitu melihat keadaan kantin penuh sesak.
"Duduk mana nih kita?" tanya Dinda sambil meneliti sekitar.
Melodi ikut mencari tempat kosong melalui matanya. Semua orang sibuk makan sambil mengobrol dengan temannya masing-masing. Namun, ketika pandangannya bertemu, saat itu juga Melodi merasa menggigil. Mata tajam milik Irama menatapnya sebentar kemudian terputus begitu saja.
Melodi mencoba mengabaikan, tetapi terasa asing untuknya melihat Irama yang seperti itu. Irama memang memiliki mata tajam yang bisa saja mematikan. Melodi terbiasa melihat itu. Namun, tidak dengan sikap seolah menghindarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi Irama
Teen FictionIni adalah nyanyianku. Suara yang ada tanpa satu pun terdengar olehmu. Ini adalah ceritaku. Suara tertahan yang selama ini terkungkung dalam tangis tiada suara, serta terpenjara dalam batas kebisuan. ________________________________________________...