19

54 6 0
                                    

Keegoisan diri untuk menghempaskan perasaan ternyata adalah bentuk pemati suri hati yang pernah pulih secara berangsur-angsur. Ketidaktahuan kini memamah penyesalan-penyesalan yang datang. Aku meraihmu sekarang, apa kamu masih ingin mengulurkan tangan itu dan kembali pulang?

***

"Irama masih nggak sekolah?" tanya Melodi berulang kali kepada Raka dan Fadil yang dibalas gelengan.

"Gue nggak tau dia di mana," jawab Raka pelan.

Mereka mengembuskan napas depresi. Bagaimana tidak, sudah dua hari Irama tidak masuk sekolah tanpa kabar sedikit pun. Dia menghilang tiba-tiba saja sejak satu hari setelah kepergian Rizal. Hal inilah yang mereka cemaskan, Irama pasti tidak baik-baik saja sekarang.

"Aing telpon ya si Irama?" tanya Fadil akhirnya.

Melodi dan Raka mengangguk. Mereka hampir pasrah begitu tidak ada satu pun panggilan yang terjawab.

Fadil menggeleng pertanda tidak diangkat. Membuat mereka semakin tak memiliki arah untuk mencari Irama.

"Dia ngomong apa aja Mel pas nemuin lo di cafe itu?"

Melodi menatap sekitarnya. Kelas kosong, sekarang jadwal kelasnya berolahraga. Namun, mereka bertiga memilih di dalam kelas karena Pak Karto tidak masuk. Jadi, mereka yang di luar hanya bermain-main saja. Setelah terasa aman, Melodi menatap Raka lama.

"Gue baru sadar kalau gue sejahat itu sama dia," lirih Melodi. "Gue nggak tau kalo dia banyak banget masalahnya dan gue terus nambahin cuma karena alesan-alesan nggak penting. Dia bilang, Mama dia meninggal, sama kaya Rizal penyebabnya, itu yang buat gue paham kenapa dia sejatuh itu pas denger kabar kemarin. Sisanya cuma soal perasaan dia."

"Aing baru tau sama cerita itu. Kenapa sia teh nggak cerita, Ka?"

Raka mengabaikan pertanyaan Fadil. "Irama nggak jahat, Mel. Dia baik, dia cuma nggak tau gimana berbuat baik. Dia mungkin kasar, pemaksa dan sebagainya, tapi dia tanggung jawab. Ngeliat lo nangis berkali-kali aja dia pukulin diri dia sendiri. Jadi, tolong bantu kita untuk buat dia lepas dari obat itu. Karena kalau enggak, lama kelamaan dia bakalan sakit jiwa sendiri. Dia bakalan depresi berat karena efek obat itu."

"Aing punya kenalan psikiater, temennya Mama, mungkin Irama butuh. Abis dia mau diajak ngobrol kaya biasa, ajak dia tuh Mel ke psikiater, karena kalau kita yang ajak mah mana mau si Irama denger."

Melodi mengangguk. Dia tersenyum sedikit lagi. Sebagian hatinya senang karena dipercaya mampu memberikan Irama dorongan. Namun, sebagian lagi merasa sangsi, apakah Irama masih mau ada di dekatnya lagi? Setelah laki-laki itu seolah menarik diri.

***

Melodi memegang erat tali tas selempangnya. Dia bergetar dan berdiri dengan tidak nyaman di depan gerbang rumah berbentuk minimalist itu. Dia sudah membulatkan tekad untuk membawa Irama keluar. Menarik laki-laki itu agar tidak lagi mengurung diri sendirian.

Melodi tahu Irama ada di dalam. Dia mendapatkan kabar dari Raka yang sama-sama mencoba berani dengan menghubungi Papa Irama.

Setelah membuang napas pendek, Melodi menekan bel yang berada di samping kiri gerbang. Tak lama, pintu kecil di depannya terbuka, muncul wajah penjaga rumah Irama membuat Melodi tersenyum kaku.

Melodi IramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang