1

2.2K 191 2
                                    

Berlari, melompat, melewati satu per satu tembok yang menghalangiku. Bebas, itulah yang kurasakan sebagai parkour.

Meskipun terlihat berbahaya, aku menikmatinya. Awalnya aku takut akan terjatuh dan terluka, namun itu tidak sebanding dengan kebebasan yang kurasakan.

Kebebasan yang ingin kuhirup sedalam mungkin, hingga dadaku terasa sesak.

Sambil berlari di trotoar, aku melihat jam yang melingkar di tanganku. Sial, lima menit lagi aku akan terlambat.

Mau tak mau, aku harus menambah kecepatan lariku.

Tapi nyatanya usahaku sia-sia, gerbang sekolah sudah ditutup rapat. Aku mendengus, aku harus mencari jalan lain untuk masuk ke sana.

Aku menyusuri bagian luar Konoha High School, yang ternyata tembok sekelilingnya tidak setinggi gerbang masuk.

Aku pun memilih salah satu tembok yang kira-kira bisa kupanjat. Setahuku, di balik tembok ini ada sebuah taman tua yang tentu saja jarang dikunjungi oleh siswa.

Kuputuskan untuk memanjat tembok ini dengan cepat.

Awalnya kukira tidak ada siapa-siapa di taman tua ini. Namun nyatanya, seseorang tengah berdiri mengawasiku dari jauh.

Aku melihat orang itu menyeringai tajam padaku, membuatku sedikit merinding. Apa mungkin dia akan melaporkanku pada guru?

Aku menggeleng, mungkin orang itu hanya khayalanku belaka. Karena ketika aku kembali melihat ke tempat orang itu berdiri, orang itu sudah menghilang entah kemana.

■ ■ ■

Aku memang orang biasa, invisible malah. Orang-orang tidak pernah melirikku, mungkin karena aku aneh.

Tentu saja aku aneh. Rambutku yang berwarna pink mencolok dipadukan dengan mataku yang berwarna emerald, membuat kesan nyentrik yang membuat orang berpikir dua kali untuk mendekatiku.

Ketika aku sedang asyik dengan makan siangku, tiba-tiba seseorang menggebrak mejaku dengan keras.

"Hei! Bisakah kau pergi dari sini? Meja ini tempat kami!"

"Maaf?"

Orang itu mendecih kesal, lalu menatapku tidak suka.

Ada tiga orang yang tengah melabrakku. Yang bicara barusan adalah perempuan berkacamata dengan rambutnya yang merah. Wajahnya terlihat sengak-sengak tolol, membuatku gatal ingin menonjoknya.

Yang kedua dan ketiga tentu saja kacung dari si Rambut Merah itu. Keduanya tidak mencolok, jadi tidak begitu kuperhatikan.

"Dengar, meja ini tempat kami. Semua orang juga tahu itu!"

"Oh, ya?"

"Iya! Cepat minggir! Kalau tidak, tamatlah riwayatmu!" Ew, air liur perempuan itu sampai muncrat kemana-mana.

"Oh, maaf," ujarku dengan tenang. Perempuan itu tertawa puas melihatku.

"Bagus kalau kau mengerti. Kalau begitu, ayo cepat pindah! Kami ingin makan--"

"Tapi kantin ini milik umum, 'kan? Aku bebas mau duduk di mana saja," potongku cepat, namun masih dengan nada yang tenang.

Wajah perempuan itu memerah menahan malu. Aku tersenyum menantang, kulihat name tag di dadanya.

Uzumaki Karin. Oh, jadi itu namanya.

"Kau! Dasar junior kurang ajar!"

Aku tidak menanggapi amarahnya. Kulanjutkan saja makan siangku dan sialnya, Karin malah melempar piringku hingga terjatuh ke lantai.

The Genius OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang