Pendar Biru

25 1 0
                                    

Aku tertegun menatap rumah setengah jadi di hadapanku. Ini adalah rumah keluarga kami yang tidak pernah selesai dibangun karena Ayah meninggal. Ibu tak kuasa melanjutkan hidup di kota ini dan membawa kami bertiga kembali ke Jogja. Tak lama setelah itu, ibuku pergi. Bekerja di Jakarta, katanya. Aku, Nadia dan Noka hidup bersama nenek.

Perlahan kulangkahkan kaki ke halaman yang penuh dengan rumput ilalang. Masih terdapat tumbukan batu bata yang ditumbuhi lumut, menutupi sebagian depan rumah. Jendela-jendelanya ditutup dengan plakat kayu.

Sampai di bagian teras, aku berhenti sejenak. Gagang pintu terasa dingin di telapak tanganku, lalu kubuka daun pintu. Bunyi pintu berderit seolah mengabarkan kedatanganku. Bau pengap langsung menyerbu. Mataku memicing menyesuaikan diri dengan cahaya remang di dalam ruangan. Sarang laba-laba memenuhi seluruh bagian, sampai harus disibak untuk bisa berjalan.

Sesuatu berdesir seperti angin melewatiku dengan suara yang halus. Bulu kudukku sampai berdiri, tapi kuberanikan diri melihat sekeliling. Tak ada apa pun.

Tiba-tiba, suara berdesir kembali datang dengan kabut bergelombang yang terasa pekat, menyelimuti tubuhku. Kabut itu menebal di sekelilingku dan membungkusku hingga ke leher. Aku terbatuk, menahan himpitan tak kasat mata yang mengikat tubuhku, membuat mataku pedih dan berair. Kugerakkan bola mata sambil berusaha tetap memandang sekeliling. Aku baru sadar seluruh ruangan telah berubah menjadi biru. Biru muda yang lembut. Lalu sesuatu yang berpendar biru terlihat melayang dari atap, mendekatiku. Jantungku berdegup kencang. Aku tercekat menunggu apa yang akan terjadi.

Pendar cahaya biru itu berwarna lebih biru dari ruangan ini. Semakin mendekat semakin terlihat biru dan tajam. Aku memicingkan mata saat melihatnya berhenti di hadapanku. Sebuah batu bersegi banyak, sebesar kepalan tangan, melayang sejajar dengan kepalaku. Kalau saja tanganku bisa digerakkan, aku bisa menyentuhnya. Sayangnya, seluruh tubuhku seolah membeku di bawah kabut putih ini.

"Neja ..."

Batu itu bicara! Aku hanya bisa melotot mendengarnya. Sambil mengerjap, kuedarkan sekilas pandangan ke seluruh ruangan. Mungkin aku salah dengar?

"Neja ...!"

Kali ini aku tak salah. Batu ini memang bisa bicara. Dia memanggilku dengan nada ditekan. Suaranya berdesir dan bergelombang, seperti bisikan dari kejauhan. Aku hanya diam memandangnya.

Batu itu kembali bergerak. Dia naik dan berputar membentuk lingkaran sebesar bola besar dengan cahayanya, lalu berbalik melesat ke arahku. Aku menutup mata ketika menyadari batu itu menuju kepalaku.

Tidak sakit. Begitu menyentuh keningku, batu itu terasa seperti merasuk ke dalam kepala, lalu menghisap seluruh tubuhku. Badanku terhimpit dan ditarik masuk ke dalam pusaran. Aku memekik saat menyadari tubuhku melayang.

Udara dingin terasa menyelimuti. Cukup dingin sampai ujung jemari tanganku terasa kebas. Rasanya aku sedang berbaring di rerumputan. Kuberanikan diri membuka mata meski bola mata ini masih terasa pedih.

Benar saja, aku memang terbaring di rerumputan yang basah. Angin bertiup kencang. Dingin dan bersuara mengalun seperti gelombang. Ini seperti sebuah lembah dengan bukit-bukit mengelilingi semua penjuru. Tetapi tidak ada satu pun pohon. Hanya batu-batuan yang bertumpuk tinggi, memenuhi hampir seluruh tempat. Batu-batu itu seperti disusun rapi membentuk kerucut dengan lubang di bagian sisi bawahnya.

Tunggu! Kurasa itu bukan tumpukan batu. Itu seperti sebuah ... rumah? Aku duduk untuk lebih memperhatikan sekeliling.

"Neja, kau sudah sampai." Seseorang berbicara padaku. Aku menoleh ke arah datangnya suara. Seorang laki-laki muda, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Ramputnya panjang berwarna kebiruan dan dibiarkan tergerai, melambai di belakang punggungnya. Dia tersenyum sambil mengulurkan tangan, "Selamat datang. Aku Trian."

Kupandangi wajahnya. Tampan dan unik dengan mata biru yang sewarna dengan rambutnya. Perlahan kuterima uluran tangannya.

"Ini dimana?" tanyaku. Trian tak menjawab. Dia hanya menarik tanganku hingga aku berdiri.

"Ikut aku," sahutnya masih sambil tersenyum dan menggandeng tanganku. Dia berjalan di depan dan menuntunku melewati beberapa "rumah" dari batu itu. Sampai di sebuah rumah yang berukuran lebih besar dari yang lain. Trian menuntunku masuk.

Aku tertegun. Ruangan dalam rumah batu itu dipenuhi dengan orang-orang yang berambut panjang dan bermata biru. Mereka duduk mengelilingi sesuatu yang tampak seperti bola. Kini, semua mata menoleh ke arah kami. Trian tak berhenti menggandengku hingga kami mendekat ke arah bola itu.

Begitu sampai di dekat bola itu aku terhenyak melihat apa yang ada di dalamnya. Seseorang berukuran tubuh yang kecil terbaring meringkuk di sana. Aku mengenali seraut wajah itu.

"Ayah?" Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Benarkah ini Ayah? Tapi Ayah sudah meninggal. Ayah kenapa?

"Ayahmu tidak meninggal," kata Trian seperti mengerti apa yang kupikirkan, "rumah kalian itu adalah terminal tempat kami berhubungan dengan dunia kalian. Dia masuk ke sini dan bergabung dengan kami, menjadi panglima dalam memerangi bangsa Straud. Mereka mengalahkan kami dengan kabut panas sehingga membuat seluruh tanaman yang ada di sini mati. Dia juga mengurung ayahmu dalam gelembung bola. Kami tak bisa hidup dalam kedinginan. Udara dingin melemahkan kami. Kami butuh matahari untuk kembali memperoleh kekuatan."

Aku tak sepenuhnya paham apa yang dikatakan Trian. Otakku masih tak percaya melihat ayahku ada di sini. Ayah masih hidup.

Sentuhan di tanganku mengembalikan kesadaranku. Aku mendongak memandang Trian.

"Kami membutuhkanmu. Sebelum terperangkap dalam gelembung bola ini, ayahmu sempat berpesan, jika kamu datang ke rumah itu, kami harus menjemputmu ke sini. Hanya kamulah yang bisa membuka gelembung ini."

"Bagaimana caranya?" Akhirnya aku bisa bicara. Suaraku bahkan terdengar mendengung seperti gelombang di kejauhan.

Trian melihat ayahku sebelum menjawab, "Kamu harus mengambil kembali pedang surya yang disembunyikan bangsa Straud. Pedang itulah yang bisa membebaskan ayahmu dan menghilangkan kabut panas di sini. Kami akan membantumu."

Aku diam mendengarkan penjelasannya. Rasanya masih tak percaya dengan semua yang kualami. Tapi aku tak bisa membiarkan Ayah seperti itu. Aku harus menolongnya. Meski seribu pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya. Nanti saja. Aku bisa menanyakannya nanti.

FF Cloverline CreativeWhere stories live. Discover now